Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketika Zionis Israel Renggut Kebahagiaan Ramadan Anak-anak Palestina, Miris!

Ketika Zionis Israel Renggut Kebahagiaan Ramadan Anak-anak Palestina, Miris! Kredit Foto: Antara/Suwandy
Warta Ekonomi, Ramallah, Tepi Barat -

Tibanya Ramadhan di berbagai belahan dunia kerap kali membawa keriuhan khas anak-anak Muslim. Mulai dari keluhan-keluhan mereka yang baru belajar berpuasa, lantunan Alquran dari anak-anak yang mengaji, keisengan sepanjang shalat Tarawih, hingga mereka yang begadang dan ramai menunggu waktu membangunkan sahur.

Di wilayah penjajahan Israel, lain ceritanya. Provokasi oleh pasukan Israel pada bulan Ramadhan terus dilakukan. Bukannya menghormati bulan suci itu, tentara Israel justru menggencarkan penangkapan warga Palestina termasuk mereka yang di bawah umur.

Baca Juga: Palestina Sedih Indonesia Dicoret Sebagai Tuan Rumah, Merasa Jadi Korban FIFA

Sebanyak 115 warga Palestina di 10 hari pertama Ramadhan dilaporkan ditangkap oleh Israel. Informasi ini disampaikan Pusat Studi Tahanan Palestina. Dalam sebuah laporan, organisasi itu mengatakan pasukan pendudukan Israel mengintensifkan kampanye mereka melawan Palestina selama bulan suci Ramadhan.

Dari jumlah total warga Palestina yang ditahan, 21 di antaranya adalah anak-anak, yang sebagian besar berasal dari kota suci Yerusalem yang diduduki. Beberapa anak ditahan untuk diinterogasi dan dibebaskan atau ditempatkan di bawah tahanan rumah atau dengan syarat membayar denda.

Dilansir di Middle East Monitor, Jumat (31/3), salah satu anak yang ditahan adalah Mohammad Abu Safiyeh, dari lingkungan Sair, sebelah barat Ramallah. Anak laki-laki berusia 17 tahun itu terluka oleh pasukan pendudukan Israel sekitar sebulan yang lalu. Pusat Studi Tahanan Palestina lantas meminta komunitas internasional untuk melindungi warga Palestina dari agresi harian Israel. 

Otoritas penjajah Israel juga terus membatasi akses warga Palestina ke Masjid Al-Aqsa selama bulan Ramadhan. Seorang warga Palestina, Nizam Abu Rumouz ditangkap di Masjid al-Aqsha pada Selasa (28/3) ketika Israel menyerbu tempat suci umat Islam tersebut.

Dilaporkan Middle East Monitor, Rabu (29/3), Abu Rumouz diinterogasi dan dibebaskan dengan larangan masuk ke al-Aqsha selama enam bulan. Abu Ramouz mengatakan, larangan sebelumnya telah berakhir pada hari penangkapannya.  Dia telah dilarang memasuki kompleks Masjid al-Aqsha sebanyak 16 kali, dengan satu kali larangan untuk jangka waktu antara satu sampai enam bulan.  

Warga Palestina lainnya, Raeda Saida juga ditangkap pada Selasa dan penahanannya diperpanjang hingga Kamis (30/3). Otoritas pendudukan telah berulang kali melarang Said memasuki masjid.

Abdullah Daana, Salih Fakhouri dan Mohammed Abu Farha juga telah dilarang memasuki al-Aqsha selama satu minggu. Larangan tersebut dapat diperpanjang atau diperbarui. Ada seruan yang lebih besar untuk serangan ke al-Aqsha oleh kelompok sayap kanan Israel menjelang hari raya Paskah Yahudi yang akan diadakan pada akhir April. 

Ramadhan adalah bulan paling suci dalam kalender Islam. Warga Palestina tanpa gentar terus berupaya masuk ke Masjid al-Aqsha dari berbagai pintu untuk beribadah. Seorang pemilik toko di jalan al-Wad di Kota Tua, dekat al-Aqsha, Nadia, mengatakan, polisi telah mengepung area sekitar toko dan menghentikan semua orang yang lewat.

“Polisi telah mengepung toko kami dan menghentikan semua orang yang lewat.  Biasanya anak-anak muda yang mampir ke sini,” ujar Nadia.

Sekretaris Jenderal Dewan Kerjasama Teluk (GCC) Jasem Mohamed Albudaiwi menyampaikan kutukan keras atas penyerbuan warga Yahudi ke Masjid al-Aqsha. Tindakan penyerbuan itu berlangsung di bawah perlindungan pasukan Israel.

Jasem Mohamed menyampaikan kecaman atas pelanggaran yang dilakukan Israel selama bulan suci Ramadhan. Aksi tersebut dinilai merupakan eskalasi yang berbahaya, sekaligus pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan resolusi yang relevan.

Apa yang dilakukan pemukim ini juga disebut melanggar status quo sejarah dan hukum di Yerusalem dan tempat-tempat sucinya, serta provokasi sentimen Muslim di seluruh dunia.

Ia meminta masyarakat internasional segera turun tangan menghentikan pelanggaran tersebut. Di sisi lain, setiap pihak harus mengintensifkan upaya untuk mendorong proses perdamaian ke depan.

Dilansir di Asharq Al-Awsat, Jumat (31/3), ia meminta masyarakat internasional segera turun tangan menghentikan pelanggaran tersebut. Di sisi lain, setiap pihak harus mengintensifkan upaya untuk mendorong proses perdamaian ke depan.

Dia juga menggarisbawahi posisi tegas GCC, yang memprioritaskan penyelesaian konflik Palestina-Israel melalui pembentukan negara Palestina merdeka sesuai dengan perbatasan 4 Juni 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.

Ketakutan anak Palestina

Sementara, anak-anak Palestina mengalami ketakutan dan kecemasan akibat kekuatan berlebihan yang digunakan oleh pasukan Israel terhadap warga sipil selama serangan ke wilayah Palestina, belakangan. Gerakan Pembela Anak Internasional Palestina (DCIP) telah mendokumentasikan kesaksian anak-anak muda di Jenin yang mengalami trauma akibat aksi militer.

Dalam laporannya, Gerakan Pembela Anak Internasional Palestina mengatakan, kekerasan oleh pasukan Israel melanggar hak hidup 17 anak sejak awal tahun. Kekerasan tersebut juga telah berdampak signifikan pada anak-anak lain.

Kekerasan telah termanifestasi dalam perilaku, pemikiran, dan capaian akademis anak-anak Palestina. Kekerasan juga telah melanggar hak anak-anak yang dijamin oleh hukum internasional, serta mengancam keamanan psikologis dan sosial mereka.

Di antara 17 anak yang gugur sejak awal tahun ini, enam diantaranya berasal dari Jenin. Anak-anak telah digunakan sebagai perisai manusia. Mereka ditahan selama berjam-jam di rumah mereka yang digunakan sebagai barak militer dan penembak jitu. Bahkan rumah-rumah mereka dijadikan titik pengamatan selama penyerbuan. 

Direktur DCIP, Khaled Quzmar, mengatakan, penggunaan kekuatan berlebihan tentara Israel telah membuat anak-anak Palestina tidak memiliki rasa aman. Mereka juga mempunyai rasa tidak percaya diri di masa depan.

“Anak-anak hidup dalam situasi tanpa harapan.  Misalnya, seorang anak ditemukan di kamp Dheisheh berjalan-jalan dengan surat wasiatnya tertulis di selembar kertas di sakunya, karena dia takut berada di tempat yang salah pada waktu yang salah dan mungkin terbunuh," ujar Quzmar, dilaporkan Arab News, Kamis (30/3/2023).

Quzmar mengatakan, 17 anak yang dibunuh oleh tentara Israel tidak menimbulkan ancaman keamanan apapun bagi tentara. Mereka gugur saat menjalankan kegiatan sehari-hari.

Quzmar menambahkan, ketika seorang anak kembali ke kelasnya dan menemukan karangan bunga di tempat teman sekelasnya dibunuh oleh tentara Israel, itu meninggalkan bekas psikologis yang dalam pada mereka. Dia mengatakan, anak-anak Palestina di wilayah aksi militer berulang kali, seperti kamp Jenin dan kamp pengungsi Dheisheh dekat Bethlehem, membutuhkan sesi dukungan psikologis karena hidup menjadi tidak berharga bagi mereka.

Seorang anak berusia 17 tahun menyaksikan temannya terbunuh oleh tembakan pasukan Israel. Kematian temannya itu membuat remaja tersebut terpukul.

"Ketika rekan saya Mahmoud Al-Saadi, dan saya sedang menuju ke sekolah di pagi hari, tentara Israel menyerbu kamp dan mulai menembak dari segala arah. Dia terbunuh. Kami berencana bersama untuk lulus dari sekolah, kuliah, dan belajar bersama, tetapi semua itu hancur berantakan," ujar remaja yang tidak disebutkan namanya.

Kesaksian lain dari seorang anak berusia 16 tahun mengatakan, penggerebekan pasukan pendudukan Israel ke kamp telah menjadi rutinitas. “Tentara masuk kapan saja, jadi saya tidak bisa lagi keluar rumah.  Saya takut dengan penggerebekan tentara saat saya berada di luar rumah," ujarnya.

Anak lainnya yang berusia 17 tahun mengatakan, peluru tentara Israel pernah menembus rumahnya. Dia merasa ketakutan, kendati berada di dalam rumah sendiri. 

"Selama lebih dari setahun, saya tidak bisa tidur dengan normal. Terkadang saya terbangun karena suara peluru dan ledakan, dan terkadang saya terbangun karena mimpi buruk. Saya tidak lagi membedakan antara mimpi dan kenyataan," ujar remaja itu.

Angkatan bersenjata Israel mengepung sebuah rumah dalam salah satu serangan ke kamp Jenin. Mereka membawa paksa seorang pria yang tinggal di rumah itu, meninggalkan dari istri dan dua anaknya yang masih balita yaitu Tolin (2 tahun) dan Misk (1 tahun).

Setelah kembali ke keluarganya, pria itu mengatakan perilaku kedua putrinya berubah sejak serangan Israel. Anak pertamanya, Tolin yang biasanya aktif berubah menjadi anak yang pendiam dan penyendiri. Dia selalu ingin dekat dengan ibunya dan tampak ketakutan.

“Perilaku kedua putrinya berubah secara radikal setelah kejadian ini, terutama Tolin, yang berubah dari aktif menjadi anak yang menyendiri, melekat pada ibunya dan takut pada suara atau gerakan apa pun, dan sering menangis," ujar pria itu.

Seorang anak berusia 15 tahun yang identitasnya tidak disebutkan mengatakan, pasukan Israel membunuh gurunya, Jawad Bawakna. Anak itu mengatakan, Bawakna adalah guru yang paling dekat dengan murid-muridnya dan selalu memberikan energi serta harapan positif. Bawakna juga kerap memberikan dukungan psikologis bagi anak didiknya.

“Kami kehilangan salah satu sumber dukungan psikologis terpenting. Sekolah telah menjadi kenangan yang menyakitkan bagi orang yang kami cintai, dan kami berusaha untuk menjauhinya sebisa mungkin," ujar anak itu. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: