Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ini Tantangan yang Harus Indonesia Hadapi dalam Pengembangan Pembangkit Listrik Panas Bumi

Ini Tantangan yang Harus Indonesia Hadapi dalam Pengembangan Pembangkit Listrik Panas Bumi panas bumi | Kredit Foto: Dunia-energi.com
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) dianggap belum menjadi pilihan utama dalam pengembangan kapasitas pembangkit listrik Energi Bari Terbarukan (EBT) hingga tahun 2030 menyusul berbagai tantangan industri geothermal.

Peneliti Indef Mirah Midadan mengatakan terdapat sejumlah tantangan dalam pengembangan PLTP dibandingkan dengan pembangkit EBT lainnya, seperti memiliki tingkat risiko yang tinggi pada proses eksplorasi serta biaya investasi yang sangat besar. 

“Biaya konstruksinya tidak murah. Dan hal-hal seperti ini melekat pada pembangunan proyek PLTP,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik bertajuk ‘Quo Vadis Panas Bumi Indonesia’ yang digelar baru-baru ini. 

Baca Juga: Pengamat Sebut Bisnis Geothermal Masih High Risk Tapi Low Return

Berdasarkan skenario optimasi geothermal dan EBT merujuk Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2015-2050, papar Mirah, diproyeksikan total kapasitas pembangkit listrik pada 2030 dari sektor EBT paling besar berasal dari PLTA dan PLTS, masing-masing sebesar 25 GW dan 14 GW. “Untuk PLTP sendiri hanya menyumbangkan sekitar 9,3 GW,”ucapnya. 

Adapun untuk pembangkit listrik fosil masih menyumbangkan 63 persen dari total bauran energi pada 2030 dengan porsi 46,4 GW berasal dari batu bara, 38,4 GW dari minyak bumi dan 35 GW dari gas bumi. Sedangkan target kapasitas terpasang untuk seluruh jenis pembangkit listrik pada 2030 mencapai 190,3 GW.

Baca Juga: Agresif Lakukan Transisi Energi, Pertamina Geothermal Energy Berhasil Bukukan Pendapatan dari Carbon Credit

Masih dalam skenario yang sama, papar Mirah, rata-rata total investasi pembangkit listrik panas bumi dan EBT lainnya sebesar US$11,19 miliar atau setara Rp173,4 triliun (asumsi kurs Rp15.500 per dolar AS) per tahunnya berdasarkan kondisi eksisting hari ini.

“Secara biaya akumulasi, pengembangan pembangkit geothermal juga masih lebih mahal dibandingkan dengan EBT lainnya, seperti tenaga biomassa, surya, dan air,” jelasnya.

Mirah turut menyoroti tantangan industri geothermal pada sisi sosial, misalnya gesekan antara pelaku usaha dengan masyarakat di lokasi pengembangan PLTP. “Untuk itu kami juga merekomendasikan perlu adanya komunikasi dan pendekatan ke masyarakat lokal dengan strategi khusus,” tutupnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: