Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Centris Sebut China Pencitraan soal Pertumbuhan Ekonomi

Centris Sebut China Pencitraan soal Pertumbuhan Ekonomi Kredit Foto: Reuters/Thomas Peter
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sudah bukan lagi menjadi sebuah rahasia bahwasanya pertumbuhan ekonomi pesat yang terjadi di China saat ini, didapatkan dari hasil korupsi atau eksploitasi besar-besaran pada negara-negara yang berutang padanya. 

Tidak hanya negara-negara di Asia, kini target jebakan utang China sudah merambah hingga ke Kawasan Afrika Sub-Sahara, terbukti dengan pinjaman miliaran dolar yang Beijing gelontorkan melalui mekanisme Belt and Road Initiative (BRI).

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah China melalui perusahaan milik negara yang didanai negara, telah menggelontorkan sejumlah besar uang ke Afrika sub-Sahara, yang merupakan rumah bagi lebih dari 1,1 miliar orang — lebih dari 75% dari perkiraan populasi China.

Hal ini semakin dipercepat dengan peluncuran Inisiatif Sabuk dan Jalan China oleh Pemimpin Beijing, Xi Jinping pada tahun 2013, untuk menciptakan lebih banyak ‘kolaborasi internasional’.

Dugaan liciknya cara China untuk terus menumbuhkan ekonomi negaranya ini, diungkap oleh mantan tahanan politik China, Jianli Yang, yang juga dikenal sebagai penyintas Pembantaian Lapangan Tiananmen 1989.

Dalam beberapa dekade setelah Pembantaian Lapangan Tiananmen tahun 1989, pertumbuhan ekonomi China yang pesat hampir tak tertandingi dalam sejarah peradaban manusia.  

Jianli Yang mengungkap bahwasanya bantuan dana segar Tiongkok merupakan bagian dari upaya Beijing untuk mendominasi sektor sumber daya alam Afrika, menyingkirkan pengaruh Barat, dan mempromosikan pendekatan Partai Komunis China. 

Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengingatkan negara-negara dunia untuk senantiasa waspada dengan segala bentuk kerjasama yang ditawarkan oleh Beijing.

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa menilai terus tumbuhnya ekonomi China termasuk saat ekonomi dunia tengah turun seperti gegara Pandemi Covid-19, bukanlah sesuatu keajaiban yang sering dicitrakan Beijing sebagai keajaiban Tiongkok.

“Wajar jika banyak yang sependapat dengan pandangan Jianli Yang, yang menyebut keajaiban China menjadi keniscayaan karena rendah sistem pemerintahan otokratis China yang memicu terjadinya korupsi, rendahnya penerapan HAM,” kata AB Solissa kepada wartawan, Sabtu, (29/4/2023).

Selain 2 faktor tersebut, lanjut AB Solissa, Jianli Yang menyebut rendahnya peraturan terkait pengelolaan lingkungan dan moralitas rendah, telah membuat hampir sebagian besar individu di Beijing telah kehilangan simpati, empati dan sisi kemanusiaan lainnya.

Bahayanya, dalam laporan Jianli Yang, China disebutkan telah menyebarluaskan model negara dan bangsanya ke Afrika.  Hal ini membuat Partai Komunis China (PKC) jauh lebih kompetitif di Afrika (dalam hal kemampuannya untuk terlibat dalam penjualan pengaruh) daripada di negara demokrasi Barat seperti Amerika Serikat dan Kanada.

Keterlibatan Beijing di Afrika menimbulkan beberapa tanda bahaya, tidak hanya karena niat eksploitatif pemerintah China, tetapi juga karena menjadikan Aftika sebagai “model China”, khususnya pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan korupsi terhadap orang Afrika.  

“Menurut laporan Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia nirlaba yang berbasis di London baru-baru ini, dari 1.690 tuduhan pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan investasi Tiongkok di seluruh dunia, 181 dilaporkan di Afrika,” ungkap AB Solissa.

Dari data yang dimiliki CENTRIS dan bisa diakses siapun dari Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia nirlaba yang berbasis di London, menyebutkan sebagian besar pelanggaran hak azazi  manusia ini terjadi di sektor pertambangan dan konstruksi Afrika.  

Menurut laporan tahun 2017, 60% hingga 87% perusahaan China mengaku membayar ‘tip’ atau suap untuk mendapatkan lisensi.  Pada tahun 2019, pengadilan federal di New York menghukum mantan Menteri Dalam Negeri Hong Kong Patrick Ho tiga tahun penjara karena perannya dalam skema untuk menyuap pejabat Afrika untuk meningkatkan perusahaan energi China terkemuka yang merupakan bagian dari inisiatif Belt and Road global Beijing.  

Seperti yang ditunjukkan oleh bukti dalam kasus tersebut, Patrick Ho membayar pejabat tinggi Afrika untuk mendukung operasi CEFC China Energy dan China National Petroleum Corp di Uganda dan Chad Afrika.

“Kurangnya respons terkoordinasi dari komunitas internasional terhadap perilaku mengerikan China di Afrika dapat merusak upaya apa pun untuk mempromosikan demokrasi, kebebasan, dan supremasi hukum di benua terpadat kedua di dunia itu,” jelas AB Solissa.

“Ini sangat berbahanya dan dunia internasional harus concren, bahu-membahu mengantisipasi setiap langkah Beijing ini, ” pungkas AB Solissa.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: