Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Profesor Politik Bantah Isu China Sering ‘Jebak’ Negara Kecil buat Investasi

Profesor Politik Bantah Isu China Sering ‘Jebak’ Negara Kecil buat Investasi Bendera nasional China terlihat di depan distrik keuangan Central pada Hari Nasional China di Hong Kong, China 1 Oktober 2022. | Kredit Foto: Reuters/Tyrone Siu
Warta Ekonomi, Depok -

Istilah jebakan utang China atau China's debt trap digambarkan sebagai sebuah fenomena saat pemberi pinjaman (misalnya Pemerintah China) dapat mengambil konsesi ekonomi atau politik jika negara yang menerima investasi tidak dapat membayarnya kembali. Negara-negara seperti Sri Lanka dan Djibouti disebut telah masuk ke dalam perangkap utang ini.

Anggota Hoover Institute dan Profesor ilmu politik di Stanford Larry Diamond menyebut hal ini yang kemudian menimbulkan asumsi bahwa China sengaja mengincar negara-negara kecil dengan kerangka institusional yang lemah untuk diajak berinvestasi.

“Cara yang lebih jujur untuk mengatakannya adalah bahwa China lebih suka bekerja sama dengan institusi yang lemah dan mudah ditembus, di mana mereka dapat mempengaruhi negara-negara lain agar dapat memiliki keunggulan komparatif atas negara-negara demokrasi yang memiliki UU yang menetapkan suap adalah ilegal bagi perusahaan-perusahaan mereka,” kata Larry, dikutip dari kanal Youtube Gita Wirjawan pada Selasa (30/5/2023).

Baca Juga: Hubungan AS dan China Memanas, Profesor Politik: Konflik Militer di Taiwan Bisa Kapan Saja Terjadi

Namun, ia melihat bahwa China tentu saja melihat aspek supremasi hukum (rule of law) dalam kerja sama investasi dengan sebuah negara. Secara rasional, hal ini menurutnya adalah langkah China untuk membangun bisnis yang akuntabel dan berkelanjutan.

“Juga, mereka tidak harus merasa terhina karena persyaratan transparansi, checks and balances, dan sebagainya. Mereka bisa saja membuat kesepakatan dengan menteri atau presiden dan masuk ke dalam ekonomi politik suatu negara, meminjamkan uang dengan suku bunga komersial untuk membantu negara tersebut. Tetapi terikat dengan segala macam manfaat dan keuntungan serta akses istimewa untuk perusahaan dan pekerjanya yang selalu ditekankan oleh China dalam pinjaman yang ditawarkannya,” jelasnya.

Selain itu, jika menggunakan perspektif China, mereka tidak ingin mempertaruhkan pengaruh geo-ekonomi dan geopolitik apabila supremasi hukum tidak ditegakkan dalam negara tersebut.

“Jadi, jika Anda adalah China, mengapa Anda ingin dibatasi, terikat, dan salah satu keunggulan komparatif utama Anda dalam bidang geo-ekonomi dan geopolitik dihancurkan sebagai akibat dari perbaikan rule of law, transparansi, akuntabilitas dalam indikator tata kelola Bank Dunia?” ungkap Larry.

Ia menyatakan bahwa supremasi hukum yang tidak ditegakkan merupakan kepentingan dari elite-elite negata tersebut untuk mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek investasi China.

“Jadi, ini bukan untuk kepentingan Republik Rakyat Tiongkok. Saya pikir ini adalah kepentingan rakyat di negara-negara (kecil) karena kita tahu bahwa pembangunan akan lebih berkelanjutan, lebih adil, lebih organik, lebih terdistribusi secara luas jika ada rule of law. Jika orang-orang bertanggung jawab, dan uang yang dipinjam oleh suatu negara digunakan untuk meningkatkan sumber daya manusia dan fisik, dan bukan digunakan untuk memperkaya para menteri, eksekutif, pejabat partai, dan kroni kapitalis yang menandatangani kontrak-kontrak tersebut,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: