Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Faisal Basri soal Mobil Listrik dan Industri: Yang Mereka Suarakan adalah Hilirisasi

Faisal Basri soal Mobil Listrik dan Industri: Yang Mereka Suarakan adalah Hilirisasi Ilustrasi Faisal Basri. | Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Mobil listrik masih menjadi pembicaraan, tepatnya pasca salah satu calon wakil presiden sekaligus ketua Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo) yang datang ke pameran mobil IIMS 2023. 

Pengamat ekonomi dan akademisi, Faisal Basri menceritakan soal mobil listrik yang tengah menjadi pembicaraan ini. 

Baca Juga: Pabrik Baterai Mobil Listrik Hadir di Jabar

Menurut pengamatannya, subsidi mobil listrik diberikan kepada orang kaya, “bukan tidak punya. [Bahkan] subsidi diberi pada produsen,” ujarnya dalam bincang diskusi bersama mantan penyidik KPK Republik Indonesia (RI), Novel Baswedan dalam kanal YouTube-nya berjudul Kondisi Saat Ini! Bersama Faisal Basri. 

“Tidak disubsidi sudah laku. Tidak disubsidi tidak laku,” pungkas Faisal. 

Faisal menjelaskan, untuk saat ini produsen mobil listrik tengah mengembangkan baterai kandungan garam atau sodium ion yang lebih murah 20% dibanding berbasis feronikel. Namun, Novel menambahkan, ada masalah limbah dan proses daur ulang baterai yang termasuk limbah B3. 

“Pabrik mobil itu, baterainya diimpor. Belum ada pabrik baterai di Indonesia. Bahan baku nikel [malah] dijual ke Cina. Biji nikel diolah menjadi nickel pig iron, kemudian di atasnya feronikel, di atasnya nickel matte. Intinya kadarnya masih di bawah 50% semua.” 

Baca Juga: 8 Fraksi Partai Politik di DPR Tegas Tolak Keputusan Pemilu Proporsional Tertutup oleh MK, Rocky Gerung: Ini Dimulai dari Ambisi Jokowi!

Faisal menambahkan, karena dukungan pemerintah melalui kebijakan proses produksi dalam negeri yang negatif, hampir tidak pernah presiden sampai menteri-menteri berbicara tentang industri di dalam negeri. Termasuk soal produksi baterai dalam negeri, hingga pengolahan nikel dalam negeri. 

“Yang mereka suarakan adalah hilirisasi,” ujar Faisal. “Karena industrialisasi nggak dapat apa-apa,” sambungnya. 

Masalah hilirisasi dan industrialisasi tengah menjadi pembicaraan Faisal dan Novel dalam kanal Youtube tersebut, hingga berujung pada satu masalah inti, yakni soal keberpihakan pemerintah yang masih negatif terhadap kebijakan produksi dalam negeri. 

Baca Juga: Luhut Suruh Pengkritik Mobil Listrik Menghadap, Faisal Basri: Ini Bukan Masalah Privat

Faisal pun membeberkan soal sektor ekstraktif yang terdiri pertanian dan pertambangan yang rentan dan bergantung pada alam. Idealnya, sektor ekstraktif turun, akan menaikkan pertumbuhan industri. Karena sektor ini hanya mengandalkan lisensi. Namun ketika sektor ekstraktif dijalankan di negara penuh korupsi, industri justru tidak berkembang. 

“Dan itu terjadi di Indonesia. Sektor ekstraktif kian hari kian loyo. Terus-menerus sampai sekarang, peranannya tahun 2002, peran industrinya udah bagus, 31% dari total ekonominya. Sekarang tinggal 18,3%.” 

Alasan turunnya industri karena produksi barang membutuhkan riset, kompetensi, dan inovasi, serta ongkos produksi. Hasilnya, saat ini, ekspor Indonesia saat ini masih rendah, yakni di bawah 50% dan masih berkutat di pertambangan batu bara. 

Faisal pun menceritakan sahabatnya yang bekerja di salah satu produsen permen enting-enting, Garuda Food. Sahabatnya menjelaskan, permen tersebut diproduksi di Cina karena terdapat perbedaan ongkos produksi permen enting-enting di Cina dan Indonesia, mulai dari ongkos bahan baku, pajak penghasilan (PPH), hingga restitusi pajak. 

“Di Indonesia, bisa 30% lebih mahal. Di Cina, impor bahan baku 0, tidak PPH bayar di muka, tidak bayar PPN kalo dia diekspor. Dan kalo dia menghasilkan valas, itu dapat insentif betul. Jadi, setiap perusahaan yang menghasilkan insentif [akan] dapat insentifnya.” 

Baca Juga: Teriak Anti-Oligarki, Manuver Anies Baswedan Cs Malah Tak Sesuai Ekspektasi: Naik Jet Hingga Pulau Pribadi, Munafik

Hingga pembicaraan makin jauh, Faisal menyatakan, Indonesia saat ini menghadapi situasi parah di sektor ekstraktif, khususnya batu bara dan sawit sebab konflik kepentingan. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Aldi Ginastiar

Bagikan Artikel: