Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dampak Kenaikan Konsumsi Rokok Murah terhadap Pengendalian Konsumsi dan Penerimaan Negara

Dampak Kenaikan Konsumsi Rokok Murah terhadap Pengendalian Konsumsi dan Penerimaan Negara Kredit Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam Konferensi Pers APBN Kita edisi Mei 2023 lalu menyatakan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada akhir April 2023 senilai Rp72,35 triliun. Realisasi penerimaan cukai rokok tersebut menurun 5,16% secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan realisasi di periode yang sama tahun lalu sebesar Rp76,29 triliun.

Rendahnya penerimaan negara ini antara lain disebabkan kenaikan konsumsi rokok murah dari golongan 2 dan 3 yang membayar tarif cukai lebih rendah.

Baca Juga: Pekerja Rokok Tak Akan Pilih Wakil Rakyat yang Tak Peduli Penderitaan Rakyat

Fenomena perpindahan konsumsi ke rokok murah ini tidak hanya menjadi ancaman bagi penerimaan negara dari CHT, namun juga  tidak sejalan dengan tujuan kesehatan, utamanya untuk menurunkan prevalensi perokok anak.

Dalam RPJMN 2020 - 2024, prevalensi perokok anak ditargetkan untuk turun menjadi 8.7%. Dengan semakin banyaknya rokok murah, target ini terancam tidak tercapai.

Kepala Laboratorium Ekonomi Departemen Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Kun Haribowo, menyoroti perilaku konsumsi masyarakat yang rentan terpengaruh dengan kebijakan kenaikan tarif CHT.

Pergeseran konsumsi rokok dari golongan 1 ke rokok golongan 2 dan 3 yang lebih murah sangat memungkinkan terjadi jika melihat gap harga yang cukup jauh antargolongan.

"Sebagai masyarakat yang rasional, konsumen tentu akan memilih rokok yang harganya sesuai dengan kondisi ekonominya. Dengan harga yang separuh antara golongan 1 dan 2, ada potensi pergeseran konsumsi ke golongan yang lebih murah," ungkap Kun dalam Webinar KBR bertajuk "Menilik Akar Penurunan Penerimaan Negara Dari Cukai Hasil Tembakau dan Implikasinya pada Pengendalian Konsumsi di Indonesia", Kamis (8/6/2023).

Dalam analisanya, produksi rokok golongan 1 saat ini sangat elastis terhadap kenaikan cukai. Penurunan produksi golongan 1 tidak dapat dikompensasi oleh kenaikan produksi golongan 2 dan 3 sehingga penerimaan CHT secara keseluruhan menjadi kontraksi.

Kun memprediksi outlook penerimaan CHT Semester 1 tahun 2023 pertama kali dalam 5 tahun terakhir akan mengalami penurunan hingga 6%-14% (yoy).

"Perlu perbaikan dalam struktur tarif cukai HT untuk menghindari shifting dari segi demand maupun supply (produsen) termasuk pengaturan tarif cukai di dalam struktur tersebut," kata Kun.

Director of Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Fiscal Research & Advisory, B. Bawono Kristiaji, menjelaskan diversifikasi golongan rokok berdasarkan produksinya membuka celah perpindahan konsumsi rokok yang lebih besar karena perbedaan harga yang cukup jauh.

Konsumen akan selalu mencari celah untuk mengonsumsi rokok dengan substitusi yang ditawarkan, misalnya beralih ke rokok yang lebih murah. Kebutuhan menaikkan tarif cukai untuk tujuan prevalensi semakin kompleks dengan diversifikasi harga berdasarkan produksi golongan rokok.

"Perlu sama-sama paham bahwa cukai merupakan instrumen untuk pengendalian konsumsi produk tertentu. Kalau cukai sifatnya diversifikasi tarif, ini akan berpengaruh pada struktur di pasar. Dengan jarak tarif yang makin besar maka akan semakin banyak tantangannya, baik dari sisi pengendalian konsumsi rokok maupun penerimaan negara," kata Bawono.

Bawono menambahkan, penurunan penerimaan negara tidak selamanya menunjukkan efektivitas pengendalian konsumsi rokok. Sebab, selain penurunan produksi, ada kebiasaan konsumen yang berubah mengonsumsi alternatif rokok murah sebagai respon dari kebijakan.

"Kebijakan yang akan diterapkan harus selalu dilandasi dengan kehati-hatian, karena cukai sifatnya spesifik dan berpengaruh pada pasar," ucap Bawono.

Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Sarno, memaparkan bahwa saat ini memang terjadi dinamika pada produksi rokok di mana produksi rokok harga rendah (SKM golongan 2 dan SKT golongan 3) meningkat pesat dalam 4 tahun terakhir.

Baca Juga: Perkenalkan Lucio Tan III, Lulusan Stanford dan Ketua Pewaris Bisnis Rokok Terbesar di Filipina, Usianya Baru 30 Tahun!

SKM golongan 2 dan SKT golongan 3 naik 31% dan 122% selama periode 2019-2022. Kenaikan ini dapat disebabkan oleh semakin lebarnya gap tarif dan HJE golongan 2 dan 3 dengan golongan 1 yang otomatis berpengaruh pada penurunan penerimaan negara.

"Pasti ber-impact (red: kepada penerimaan negara), meskipun kita berharap tren penurunan ini tidak terus berlanjut dan penerimaan CHT tercapai. Namun kita waspadai dan kita check terus," ucap Sarno.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ayu Almas

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: