Jadi Penopang Ekonomi, Eksistensi Ekosistem Pertembakauan Nasional Perlu Dijaga
Polemik yamg timbul terkait pertembakauan dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) perlu mendapatkan perhatian. Hal ini mengingat masifnya multiplier effect ekosistem pertembakauan yang tidak hanya terkait pada besarnya serapan tenaga kerja, namun juga mencakup perekonomian yang berkontribusi signifikan terhadap Indonesia.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan pengaturan produk hasil tembakau selama ini dioptimalkan dengan mengembalikan fungsi cukai yaitu pengendalian dengan mekanisme fiskal.
"Penerimaan negara cukup besar berasal dari kontribusi CHT (Cukai Hasil Tembakau). Sekitar 10 sampai 13 persen dari porsi APBN selama lima tahun terakhir dari satu industri," kata Nirwala dalam Silaturahmi Ekosistem Pertembakauan di Jakarta, baru-baru ini.
Sejalan dengan kondisi tersebut, Nirwala menegaskan, yang perlu dilakukan adalah evaluasi implementasi jika memang dibutuhkan.
"Bukan mengubah atau membuat regulasi baru," tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Edy Sutopo menegaskan hal serupa.
"Menjadi sebuah urgensi untuk menjaga eksistensi ekosistem pertembakauan. Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah motor penggerak ekonomi nasional mengingat size of business IHT ini dari hulu ke hilir (single commodity) yang luar biasa," dia mengingatkan.
Terlebih, IHT juga dinilai mempunyai peran besar untuk menggerakkan perekonomian lainnya. Edy memaparkan industri ini memiliki efek sampai pada akar rumput (grassroot) seperti pertanian.
"Dalam dinamika perekonomian nasional, Industri Hasil Tembakau menjadi penopang atau bantalan ekonomi. Kita harus menyikapi dengan bijaksana regulasi-regulasi yang ada," sarannya.
Hal tersebut berkaitan dengan polemik atas pasal tembakau dalam RUU Kesehatan, yakni mulai dari Pasal 154 sampai 158, termasuk di dalamnya terdapat rencana penyetaraan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika. Serta potensi tumpang tindih kewenangan kementerian berkaitan dengan standarisasi kemasan produk.
Padahal, dalam naskah akademik RUU Kesehatan dimaksud, tidak ada kajian dan analisis yang bisa memperkuat argumen pasal tersebut. Serta tanpa mengkaji berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pertembakauan.
Selama ini, MK telah mengeluarkan 11 putusan terkait ekosistem pertembakauan baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung. Enam putusan di antaranya adalah putusan langsung yang menyebutkan bahwa ekosistem pertembakauan adalah entitas yang legal atau konstitusional.
Baca Juga: Audiensi dengan DPR, FSP RTMM-SPSI Suarakan Tuntutan Terkait Pasal Tembakau di RUU Kesehatan
Tidak hanya itu, industri yang terkait dengan pertembakauan juga berpendapat hal serupa, misalnya industri periklanan. Anggota Dewan Periklanan Indonesia, Hery Margono, mengatakan sejak beberapa tahun terakhir, ada dorongan bahwa iklan rokok tidak diperbolehkan sama sekali. Padahal dalam praktiknya, iklan rokok sudah sangat taat pada peraturan yang ketat.
"Iklan rokok adalah sarana komunikasi. Adanya ketentuan larangan total iklan rokok hingga menyetarakan tembakau dengan narkotika ini menunjukkan adanya kesalahan hukum baik secara substansi maupun fundamental," ujar Hery.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait:
Advertisement