Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto meminta pemerintah untuk patuh dan taat pada konstitusi yang telah ditetapkan secara bersama-sama.
Hal tersebut diungkapkan menyusul permintaan dari Dana Moneter Internasional (IMF) agar Pemerintah Indonesia melonggarkan kebijakan ekspor nikel dan bahan mineral lainnya.
Mulyanto menegaskan, agar pemerintah tidak mau diintervensi IMF karena Indonesia sebagai negara berdaulat berhak menentukan aturan terkait pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki.
Baca Juga: IMF ke Pemerintah Indonesia: Tolong Hapus Larangan Ekspor Nikel Cs!
Menurutnya, permintaan IMF yang disampaikan dalam IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia yang dikeluarkan Minggu (25/6/2023) tidaklah logis.
“Pasalnya saat ini Indonesia tidak punya kewajiban terhadap IMF. Sehingga permintaan tersebut sangat tidak relevan disampaikan sebuah lembaga kepada pemerintahan yang berdaulat,” ujar Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (3/7/2023).
Dengan begitu, ia minta pemerintah merespons permintaan itu dengan tegas untuk menunjukan wibawa di hadapan lembaga-lembaga internasional. Bila tidak, Indonesia akan dianggap lemah dan mudah dipermainkan bangsa lain.
“Sebaiknya IMF tidak mendikte Indonesia soal kebijakan domestik terkait hilirisasi mineral, termasuk kebijakan mana yang baik dan bermanfaat bagi Indonesia. Ini kan soal national interest kita dan pilihan-pilihan kebijakan dari negara yang berdaulat," ujarnya.
Lanjutnya, sebagai salah satu bagian dari PKS, ia menyebut bahwa partainya sendiri memang tidak setuju dengan hilirisasi yang terlalu memanjakan investor. Apalagi hilirisasi nikel setengah hati, imbuh Mulyanto, yang mengekspor produk nikel setengah jadi berupa Nickel Pig Iron (NPI) dan Feronikel dengan kandungan nikel yang rendah.
“Tapi kalau sudah menyangkut masalah kedaulatan negara, PKS minta pihak asing jangan coba-coba intervensi,” ucapnya.
Mulyanto menyebut model hilirisasi yang berlaku di Indonesia saat ini tidak dapat menghasilkan penerimaan negara yang memadai.
“Akibat terlalu sarat insentif yang diberikan, baik berupa bebas pajak pertambahan nilai, PPh badan maupun bea ekspor,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement