Ekonom dan Analis Khawatirkan Dampak Negatif dari AI Generatif di Indonesia dan India
Kredit Foto: Entrepreneur.com
Para ekonom memperingatkan bahwa kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI) seperti ChatGPT milik OpenAI dapat menyeret pekerjaan di Indonesia dan India. Mereka khawatir teknologi yang berkembang pesat akan memangkas jumlah pekerjaan yang tersedia bagi populasi besar kaum muda di negara-negara tersebut.
Dilansir dari laman Nikkei Asia pada Selasa (11/7/2023), Pusat Riset Ekonomi Jepang dan Nikkei bertanya kepada para ekonom dan analis di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan India mengenai dampak teknologi baru sebagai bagian dari survei konsensus ekonomi Asia triwulanan bulan lalu, yang hasilnya dipublikasikan pada Senin.
Dari 18 ekonom yang menjawab pertanyaan tentang AI generatif, 14 responden mengatakan bahwa pengaruh keseluruhan teknologi akan positif. Mereka mengharapkan peningkatan produktivitas melalui otomatisasi tugas–utamanya di bidang seperti perawatan kesehatan dan pendidikan.
Baca Juga: Investree Pilih Credgenics Manfaatkan Kecerdasan Buatan (AI) dalam Penagihan Pinjaman
Namun, beberapa responden dari India dan Indonesia memiliki pandangan negatif terkait AI generatif, mengutip rasio pengangguran kaum muda yang relatif tinggi di kedua negara berpenduduk padat tersebut. Meskipun pertumbuhan ekonomi stabil, tingkat pengangguran tahun lalu di antara usia 15 hingga 24 tahun di India dan Indonesia masing-masing sebesar 23% dan 13%, menurut data dari Bank Dunia.
“Sebagaimana Indonesia masih perlu mengakomodasi [populasi usia kerjanya] dalam jangka pendek, mengakselerasi otomasi dapat menyebabkan penyerapan tenaga kerja lebih rendah di Indonesia,” jelas Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata di Indonesia.
Senada dengan pernyataan Josua, disrupsi teknologi AI generatif dianggap sebagai salah satu aspek penting untuk diregulasi Pemerintah Indonesia. Dilansir dari laman Harian Kompas pada Selasa (11/7/2023), penulis filsafat dan pengajar Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Martin Suryajaya mengatakan upah tinggi pada pekerja akan membuat perusahaan atau vendor lebih untung menggunakan AI.
“Kalau upah terlalu tinggi, kemudian perusahaan atau vendor merasa lebih untung untuk menggunakan AI, maka perusahaan tersebut akan mengambil jalan tersebut untuk pertimbangan konsep efisiensi. Misal mengalihkan bujet membiayai tenaga kerja ke biaya untuk AI,” jelas Martin.
Punit Srivastava dari Daiwa Capital Markets India menunjukkan bahwa di sektor negara Asia Selatan seperti "pembuatan konten, periklanan [dan] industri pelatihan TI" mungkin menghadapi pengurangan kesempatan kerja.
Ekonom di luar dua negara tersebut juga mengomentari kemungkinan dampaknya terhadap lapangan kerja.
"Transisi ini akan diartikan sebagai hilangnya beberapa pekerjaan tingkat pemula," ujar Mitzie Irene Conchada dari Universitas De La Salle di Filipina. "Dampak negatif lainnya dapat berupa ketidaksesuaian pekerjaan ketika beberapa lulusan baru merasa tidak cukup atau kurang terampil untuk mengatasi penggunaan AI generatif di tempat kerja."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement