Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai revolusi mental yang diusung Presiden RI Joko Widodo sejak 2014, belum optimal, bahkan bisa dibilang gagal.
Fahmy mengatakan bahwa dalam waktu hampir 10 tahun, revolusi mental belum memberikan hasil maksimal di segala bidang, termasuk dalam transisi energi.
"Revolusi mental dibutuhkan dalam transisi energi yang bertujuan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 lantaran revolusi mental mendorong perubahan paradigma penggunaan energi bersih, yang ramah lingkungan," ujar Fahmy dalam keterangannya, Kamis (20/7/2023).
Baca Juga: Celios: Pemerintah Daerah Perlu Terlibat Aktif dalam Proses Pensiun Dini PLTU
Fahmy menjelaskan, syarat utama dalam pencapaian NZE adalah 0 persen karbon dari knalpot kendaraan bermotor, 0 persen karbon dari asap pabrik, dan 100 persen pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT).
Namun, hingga kini pencapaian syarat itu masih sangat minim, di mana hampir 100 persen kendaraan bermotor masih menggunakan BBM fosil, 90 persen lebih pabrik masih menyumbang karbon dalam jumlah besar, dan sekitar 56 persen pembangkit listrik masih mernggunakan energi kotor batu bara.
"Untuk mempercepat memenuhi syarat itu perlu diterapkan revolusi mental lantaran dibutuhkan perubahan paradigma secara radikal untuk migrasi dari penggunaan energi fosil menjadi EBT," ujarnya.
Lanjutnya, ia menilai Indonesia sesungguhnya memliki sumber daya EBT yang berlimpah ruah, di ataranya biothermal, biomassa, biofuel, tenaga surya, tenaga angin, mikro hidro, energi gelombang laut, energi pasang surut, fuel cell, energi sampah, dan energi nuklir.
Namun, masalahnya, selain belum adanya perubahan paradigma, Indonesia juga tidak memiliki teknologi untuk mengembangkan EBT. Agar tidak bergantung pada teknologi negara asing, ada urgensi untuk mengembangkan teknologi EBT secara mandiri. Pasalnya, kemandirian merupakan salah satu esensi revolusi mental.
"Penguasaan teknologi secara mandiri harus dilakukan melalui pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) anak bangsa dalam peningkatan kapabilitas teknologi (technological capability) EBT," ungkapnya.
Lebih lanjut, Fahmy mengatakan bahwa PT PLN (Persero) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus menjalin kerja sama untuk meningkatkan kapasitas SDM dan kapabilitas teknologi EBT.
Upaya ini sesungguhnya merupakan penerapan revolusi mental untuk melakukan perubahan paradigma dan penguasaan teknologi EBT secara mandiri.
Baca Juga: Maksimalkan Potensi EBT Indonesia Jadi Kunci Hadapi Transisi Energi
"Tanpa penerapan revolusi mental mustahil akan terjadi perubahan paradigma untuk migrasi dari energi fosil kotor ke EBT dan penguasaan tekonologi EBT secara mandiri. Mustahil juga tujuan transisi energi untuk mencapai NZE pada 2060 tercapai," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Advertisement