Hubungan bilateral China dengan pemerintahan Yordania dikabarkan semakin memanas, paska kesepakatan antar negara terkait pembangkit listrik Attar Yordania, tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan bangsa Yordania.
Pembangkit listrik Attarat Yordania sebelumnya telah dibayangkan oleh rakyat dan pemerintah Yordania, sebagai proyek menjanjikan yang dapat menyediakan ‘kerajaan gurun’ dengan sumber energi utama, sambil memperkuat hubungannya dengan China.
Meski menempati urutan keempat di dunia untuk minyak serpih terbanyak, Yordania juga merupakan salah satu negara yang paling bergantung pada sumber energi asing, karena tingginya biaya yang diperlukan untuk mengekstraksi bahan bakar.
Kesepakatan seputar proyek tersebut, telah menempatkan Yordania pada hutang miliaran dolar ke China, namun timbul kesepakatan lain yang dicapai sejak proyek tersebut disusun.
Pemerintah Yordania sendiri tengah mencoba untuk menantang kesepakatan lainnya tersebut, dalam pertarungan hukum internasional.
Menanggapi hal ini, Pengurus Besar Persatuan Pelajar Islam (PB PII) mengingatkan negara-negara dunia khususnya Indonesia agar tidak terjebak dengan jeratan hutang China, yang dibalut Beijing dengan perjanjian kerja sama.
Ketua PB PII Bidang Komunikasi Umat, Furqan Raka, menyebut ada maksud jahat terselubung dari penawaran kerjasama yang ditawarkan China ke negara-negara dunia yang miskin atau atau tengah berkembang.
“Yang pasti, ‘ada udang dibalik batu’. Lihat saja negara Uganda hutang US$ 200 juta, Zimbabwe US$ 4 juta atau Srilanka US$ 270 Juta kepada China,” kata Furqan Raka kepada wartawan, Jum’at, (21/7/2023).
Menyedihkannya lagi, lanjut Furqan Raka, selain terjajah dan dapat kehilangan aset negara berupa bandara atau pelabuhan seperti yang dialami Uganda dan Srilanka, proyek China acap kali bermasalah, seperti yang terjadi di Yordania.
Pada tahun 2012, Attarat Power Company yakni sebuah perusahaan swasta luar negeri terbesar China yang terlahir dari inisiatif Belt and Road Beijing, mengusulkan pinjaman untuk infrastruktur pembangkit tenaga listrik agar Yordania dapat memenuhi 15% dari kebutuhan listrik negara.
Sementara pemerintah Yordania melihat rencana itu sebagai solusi win-win bagi China dan Yordania, namun seiring perjalanan waktu negeri gurun pasir tersebut menyadari beberapa kekhawatiran.
“Dari informasi yang kami lihat di media massa, selain tantangan teknis dan biaya ektrasi minyak yang mahal, kontrak pemerintah Yordania dengan Attarat akan menelan biaya 8,4 miliar dolar selama 30 tahun ke depan dan hutang tersebut alan dengan cepat membengkak karena bunga,” jelas Furqan Raka.
Karena ekstraksi minyak terbukti mahal, berisiko, dan minim teknologi, proyek tersebut akhirnya tertunda lalu China menawarkan US$ 15 miliar, untuk mengimpor gas alam dalam jumlah besar dengan harga bersaing dari Israel pada tahun 2014.
Selain itu, di bawah kesepakatan pembelian listrik selama 30 tahun, perusahaan listrik yang dikelola negara Yordania harus membeli listrik dari Attarat yang sekarang secara efektif dipimpin China dengan tarif selangit.
Pembelian tersebut menyebabkan pemerintah Yordania akan kehilangan $280 juta per tahun dan untuk menutupi pembayaran, Yordania harus menaikkan harga listrik untuk konsumen sebesar 17%.
“Hal ini tentunya menjadi pukulan telak bagi ekonomi Yordani yang sudah dibebani dengan utang dan inflasi,” ujar Furqan Raka.
PB PII menyebut sangat wajar jika banyak pihak menuding Inisiatif Belt and Road China sebagai jebakan utang.
Saat negara-negara miskin atau berkembang berjuang untuk mendapatkan pinjaman untuk proyek-proyek infrastruktur, Beijing turun langsung menawarkan pinjaman dana segar dan besar dengan iming-iming bunga rendah serta kompetitif.
Namun ketika negara-negara ini tidak dapat membayar utangnya, China biasanya mengambil alih infrastruktur vital yang tengah atau selesai dibangun dengan ‘Yuan’ mereka, itu, seperti tanah atau pelabuhan seperti yang Beijing lakukan di Sri Lanka, Pakistan, Nepal, Ethiopia, dan Kongo.
“Salah satu kritik besar terhadap China dalam meminjamkan hutang lewat Inisiatif Belt and Road, adalah bahwa semuanya rahasia dan ujung-ujungnya alan menyandera negara yang berhutang kepada mereka,” tutur Furqan Raka.
PB PII menyebut negara-negara dunia khususnya Indonesia seharusnya mendengarkan pernyataan Mantan Direktur Intelijen Armada Pasifik AS, Jim Fanell, terkait ambisi global China menguasai dunia dengan perangkap hutang.
Melaluo Kementerian Luar Negeri ya, Beijing membela investasi mereka di negara-negara berkembang, dan menyangkal tuduhan menjerat mitra dalam utang, serta berpendapat bahwa China tidak pernah memaksa "orang lain untuk meminjam dari Tiongkok.
“Memang tidak maksa sih saat memberi hutang, namun negara-negara penghutang terpaksa menyerahkan objek vital negaranya ke China jika gagal bayar hutang,” pungkas Furqan Raka.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement