Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden China Xi Jinping belum lama ini sepakat memperdalam kerja sama strategis antara Indonesia dan China dalam berbagai sektor, seperti perdagangan, investasi, kesehatan, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), hingga riset dan teknologi. Hal ini sekaligus merupakan momentum 10 tahun kemitraan strategis kedua negara.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat memberi peringatan agar pemerintah mewaspadai potensi kerugian ekonomi dari kerja sama Indonesia-China tersebut di balik potensi manfaat besar yang mungkin bisa didapatkan Indonesia.
"Satu dari potensi kerugian yang harus diwaspadai adalah seperti yang terjadi pada proyek kereta api cepat, di mana ada ketidaksesuaian kesepakatan awal yang tadinya tidak melibatkan APBN, tapi kenyataannya jadi melibatkan APBN dan berujung pada China menuntut jaminan Penanaman Modal Nasional (PMN) melalui APBN," ujarnya dalam keterangan tertulisnya kepada Warta Ekonomi, Rabu (2/8/2023).
Baca Juga: Jokowi 'Jualan' 34.000 Hektare Lahan IKN Nusantara ke Pengusaha China
Menurutnya, transfer pengetahuan dan teknologi yang menjadi salah satu pertimbangan kerja sama dengan China sebagai bentuk penawaran nyatanya tidak terwujud. Ini terbukti dari keterlibatan berlebihan Tenaga Kerja Asing (TKA) China yang terus ada hingga proyek kereta api cepat selesai.
"Hal ini menjadi bukti nyata bahwa Indonesia tidak sepenuhnya mendapatkan manfaat sebagaimana yang diharapkan dalam hal penyerapan tenaga kerja," bebernya.
Achmad lantas menyarankan agar Indonesia lebih hati-hati dalam bernegosiasi dan mengawasi kesepakatan proyek dengan China. Memastikan transfer pengetahuan dan teknologi serta melibatkan lebih banyak tenaga kerja lokal dapat meningkatkan manfaat bagi Indonesia.
"Pastikan dokumen perjanjian kerja sama yang dibuat, dipelajari, dan dikuasai baik-baik dengan memastikan terjaminnya kepentingan negara," jelasnya.
Tambang nikel, lanjutnya, juga menjadi contoh lain dari potensi kerugian. Meskipun Indonesia terlibat dalam ekspor nikel ke China, porsi keuntungan yang diterima Indonesia relatif sedikit, sebagian besar yang menikmati manfaatnya adalah China. Sementara penggalian nikel yang begitu masif dikuras setiap harinya membuat cadangan nikel Indonesia semakin menipis.
Diskriminasi upah antara tenaga kerja lokal dan TKA China juga menyebabkan ketidakadilan di pasar tenaga kerja Indonesia. Ia menegaskan, dalam perjanjian perdagangan, Indonesia harus bersikeras pada kesepakatan yang lebih adil dan menguntungkan.
"Pengaturan upah yang lebih merata antara tenaga kerja lokal dan TKA China harus diutamakan untuk menghindari diskriminasi dan ketidakadilan," tegas Achmad.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement