Rayakan Satu Dekade, CEO Ralali.com Ungkap Strategi Bertahan di Berbagai Masa
Platform jual-beli untuk bisnis ke bisnis (B2B) yang berbasis di Indonesia, Ralali.com, baru-baru ini merayakan satu dekadenya sebagai perusahaan teknologi (startup). Perusahaan tersebut hadir dalam konferensi pemasaran dan teknologi Vibe Martech Fest 2023 yang dihelat di Jakarta pada Selasa (1/8/2023).
CEO Ralali.com, Joseph Aditya menjadi pembicara untuk panel diskusi bertajuk Can Personalisation Streamline Customer Engagement? bersama pembicara lainnya, yang membahas tentang perusahaan atau merek menyediakan personalisasi terbaik untuk keterlibatan pelanggan.
Atas kesempatan tersebut, Warta Ekonomi mewawancarai Joseph secara langsung di konferensi tersebut. Berikut wawancara lengkapnya.
Baca Juga: Konferensi Pemasaran dan Teknologi Vibe Martech Fest Hadirkan 200+ Pemimpin Perusahaan
Baru-baru ini, Ralali merayakan ulang tahunnya yang ke-10, seperti apa dampak Ralali yang fokus di B2B selama ini?
Bicara soal dampaknya, adalah waktu 10 tahun lalu kan, tidak ada yang membuat platform bisnis ke bisnis (B2B), hampir semua bisnis ke pelanggan (B2C). Jadi kami yang pertama membuat platform B2B dan banyak sekali inovasi selama 10 tahun terakhir ini. Dari platform yang pertama, terus akhirnya kami juga membuat inovasi yang lain termasuk ekosistem Ralali, ada Ralali Agent.
Ralali Agent menghubungkan antara pelaku bisnis dengan tenaga kerja. Jadi banyak banget ekosistem yang sudah berkembang melebihi perusahaan e-niaga (e-commerce) selama 10 tahun terakhir.
Ralali bukan hanya menyediakan tempat e-niaga (e-commerce marketplace), kami juga menyediakan pembiayaannya. Kami juga menyediakan marketplace untuk tenaga kerjanya. Jadi satu lingkaran kebutuhan bisnis dari bisnisnya, pembiayaan, sampai orang (tenaga kerja), kami siapkan dalam satu platform.
Ralali kabarnya meluncurkan Kalibrasi.com dan Limbah.id, seperti apa kedua platform ini dan bagaimana langkahnya di kuartal ketiga tahun ini?
Kalibrasi.com salah satunya itu adalah contoh dari kreasi bersama perusahaan (co-creation). Jadi co-creation dari Ralali dengan pelaku industri karena Ralali selama 10 tahun sudah membuat ekosistem yang bisa dipakai untuk semua bisnis, sebab semua bisnis masih butuh pembiayaan, orang, dan lain-lain. Nah, sekarang Ralali masuk ke vertikal. Ralali bekerja sama dengan pelaku industri tersebut dengan meluncurkan yang namanya Kalibrasi.com.
Konsepnya adalah satu tambah satu menjadi 11, kami menyebutnya. Jadi satu tambah satu bukan dua, tetapi menjadi 11 karena kami membuat platform spesifik (niche) untuk targetnya. Kalibrasi.com berarti untuk sektor industrial seperti manufaktur, pabrik, segala macam.
Kemudian, kami bekerja sama dengan pelaku manajemen limbah (waste management) dengan membuat co-creation. Berarti, Limbah.id.
Ke depan, rencananya kami akan membuatnya dalam satu tahun, mungkin paling tidak lima sampai 10 co-creation.
Jadi bagaimana caranya agar Ralali punya ekosistem bisa memberdayakan pelaku industri yang tradisional, terus bisa menciptakan pasar baru.
[Mengenai Limbah.id, Joseph menjelaskan bahwa limbah dihasilkan dari industri seperti rumah sakit, perusahaan elektronik, perusahaan jamu, hingga pabrik-pabrik lainnya. Ia mengambil contoh limbah ponsel dan memiliki baterai yang tidak boleh dibuang sembarangan karena memiliki zat berbahaya bagi lingkungan. Sehingga perlu ada platform khusus. Pembuangan limbah juga diregulasi dan jika perusahaan melanggar, berefek pada dicabutnya izin dan pemberian sanksi.]
Soal penggunaan fitur kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di Ralali, akses solusi bisnis seperti apa yang ditujukan pada pengguna?
Karena konteksnya bisnis, sebenarnya AI kami pakai untuk memberdayakan bisnis, khususnya siklus hidupnya bisnis (life cycle). Life cycle bisnis itu dari apa saja sih? Dari merekrut orang sampai menjual barang dan kira-kira seperti itu kebutuhannya. Nah, Ralali mau ada di mana?
Kembali lagi karena Ralali mau ada di life cycle-nya, jadi setiap pihak terkait atau stakeholder harusnya bisa menggunakan AI tersebut. Hal yang pasti, paling simpelnya adalah memberikan rekomendasi lebih cepat atau matchmaking lebih cepat. Karena kan, konsepnya Ralali itu platform.
Misalnya, pencari kerja. Tadi kan saya katakan Ralali punya platform menghubungkan pelaku usaha dengan pencari kerja. Nah itu bisa dipermudah lebih baikm sehingga pencari kerja bisa bertemu perusahaan yang lebih tepat untuk yang dibutuhkannya, atau sebaliknya pelaku industri bisa menemukan pasar yang lebih tepat ke sana.
Atau juga, bank bisa mencari, atau usaha kecil menengah (UKM) bisa mendapatkan pendanaan ke bank yang lebih tepat sesuai kebutuhannya. Kuncinya adalah untuk mempercepat dan untuk memudahkan.
Nah tujuan dari pengembangan AI ini, sebenarnya bukan kami buat AI-nya, terus kami pakai sendiri. Kami sebagai platform teknologi, kami membuat kerangka kerja AI-nya, kami berikan ke mereka, karena nanti datanya harus dari mereka yang melatih. Kami lah menjadi mitra teknologi yang mengolah datanya.
Tentang Ralali Connect yang berupa e-niaga secara sosial (social commerce), belakangan social commerce sempat ramai kontroversinya, namun sejauh ini Ralali Connect telah menghubungkan siapa saja dan mayoritas pengguna tersebar di mana saja?
Pertama, Rally Connect itu fungsinya adalah untuk memberikan akses para UKM ini untuk membuat toko digitalnya itu lebih cepat karena Ralali sudah punya koneksinya yang banyak.
Kami melihat bahwa waktu COVID-19, banyak UKM yang perlu hadir secara digital (digital presence), tetapi kan tidak bisa kehadiran digitalnya hanya ada di Shopee atau Tokopedia. Kalau toko roti, bagaimana kan harus melayaninya? Sehingga harus punya toko sendiri, terus harus non-tunai (cashless) yang memaksa mereka sewaktu COVID-19 untuk melakukan transaksi itu.
Kalau harus menyambungkan satu-satu ke berbagai bank, kan kasihan kelamaan. Ralali datang, kami buat versi Ralali yang lebih mini. Jadi Rally Connect semua terhubung dengan fitur-fitur kami, lalu kami berikan pada UKM agar mereka dapat terhubung secara digital.
Hasilnya, UKM bisa buat semacam laman situs (website) sendiri, kemudian langsung pasang solusi pembayaran yang diperlukan, layanan antarnya yang mereka tidak perlu ketuk pintu ke layanan ride-hailing atau ojek daring (online). Kami sudah sambungkan semua, sehingga mereka bisa punya kehadiran digital.
Nah, dipakai untuk siapa? UKM-UKM kecil. Contohnya ketika masa COVID-19, banyak sekali karena ada toko oleh-oleh. Mau jalan-jalan, tidak bisa, ada toko oleh-oleh malah mandek, sudah pasti tidak bisa jualan. Alhasil mereka harus mau nggak mau punya kehadiran digital yang muncul. Tidak hanya di Tokopedia, tapi juga ada di toko digital yang mereka buat sendiri.
Ini juga sebenarnya tujuan kami, karena kami ingin—meskipun sudah banyak platform di luar sana—tetapi UKM harus mempunyai ekosistem digital mereka sendiri. Jadi, tidak ketergantungan. Kalau misalkan suatu hari, layanan ride-hailing yang punya layanan antar atau kuliner seperti Grab atau Gojek menaikkan harga layanan ke penjual makanannya, UKM masih punya website sendiri, dan bisa mengatur penerimaan pesanan, mengatur layanan antarnya sendiri, kan masih bisa. Kira-kira seperti itu konsepnya.
Sebagian besar konsep seperti ini berupa kemitraan. Waktu itu, Kami bekerja sama dengan Pak Sandiaga Uno dari Kementerian Pariwisata untuk memberdayakan 10.000 UKM digital di desa wisata. Jadi, banyak dipakai untuk memberdayakan perusahaan-perusahaan yang punya usaha-usaha kecil, sehingga kami berikan layanan ini ke mereka dan mereka yang membagikan ke bawah. Kira-kira seperti itu.
Indonesia terus bertumbuh untuk ekonomi digital, UMKM/UKM yang menjadi kontributornya. Dari Ralali, bagaimana proyeksi bisnis B2B yang melibatkan UMKM/UKM untuk satu tahun ke depan?
Saya rasa jika bicara soal konversi mereka ke digital kan, mau tidak mau berubah gara-gara masa COVID-19. Mereka dipaksa, bahkan anak sekolah saja sudah pakai Zoom begitu kan.
Sehingga melalui masa COVID-19, kami melihat langsung permintaan pelaku usaha. Saya menyebutnya pelaku usaha ya karena kami sebenarnya tidak terlalu fokus ke pelaku yang mikro-mikro, itu kan sampai level nelayan, petani, begitu ya.
Kami lebih ke UKM atau small medium enterprises (SME), bukan UMKM atau micro, small, medium enterprises (MSME). Jadi, mereka mau tidak mau, sudah mengerti, sudah secara tidak langsung melek tentang digital. Begitu melek, di pasar itu, mereka mulai mencari-cari solusi. Solusi itu kan, misalnya kafe hanya pakai POS-nya, nanti pembayarannya pakai yang beda lagi, nanti beda lagi. Tetapi secara permintaan, sudah naik.
Apa yang Ralali sediakan itu ekosistem. Karena naik tadi, kami justru melihat bahwa permintaannya itu naik, untuk kebutuhan di pelaku-pelaku UKM untuk meluncur secara digital (go digital) itu justru naik sekali.
Terlebih ditambah AI ini ya. Karena mereka akan berpikir bahwa, aduh dulu harus butuh desainer banyak, sekarang hanya langganan US$20, menulis perintah atau prompt, keluar gambar, baru tinggal dirapihkan oleh desainer. Dari lima desainer, mungkin tinggal dua desainer. Belum lagi yang lain-lain.
Secara bertahap, kami melihat bahwa kebutuhan tersebut akan tumbuh secara eksponensial karena dipaksa. Satu Indonesia dipaksa karena COVID-19 agar menjadi melek.
Kedua, justru dari proyeksi pasarnya justru sangat secara eksponensial mengarah lebih ke area-area itu. Bagaimana caranya kita menyediakan infrastruktur yang tepat agar mereka bisa bertumbuh. Makanya, kami menyediakannya, dari orang, pasar, pembiayaan, nah sisanya pendukung. Jadi intinya ada di tiga itu, sisanya adalah pendukung.
Ralali sebagai B2B e-commerce juga bersaing dengan kompetitor lain, bagaimana tetap bertahan dan menonjol?
Baik, saya pikir kalau berbicara tentang persaingan atau di lapangan kondisinya seperti apa, pertama-tama, Ralali lebih ke arah ekosistem B2B. Arahnya itu kanal agnostik, yang semua bisnis bisa menggunakan kami. Karena seperti banklah, semua bisnis mau pakai bank, mau transfer ke mana pun kan bisa, jadi secara mendasar mereka tidak pernah memilah-milah begitu.
Hal inilah yang membuat Ralali bisa dipakai oleh semua pelaku, dari kecil sampai besar, itu bisa pakai dan Ralali sudah membuat ekosistem yang khusus ke sana.
Saya bisa bilang setiap bisnis pasti butuh orang enggak? Butuh. Setiap bisnis butuh pasar enggak? Butuh mitra enggak? Butuh. Setiap bisnis butuh pendanaan atau pembiayaan enggak, atau akses ini? Pasti butuh. Jadi, ini horizontalnya nih.
Di pasar sekarang, Indonesia sudah tidak ada lagi yang membuat satu horizontal seperti ini, sudah tidak ada lagi. Sama seperti di pasar Indonesia, tidak ada lagi yang membuat penantang Tokopedia lah. Yang ada apa sih sekarang? Itu vertikal.
Misalkan ada Sayurbox dan lain-lain. Itu kan sebenarnya kan turunan dari kategori Tokopedia bagian grosir menjadi Sayurbox. Secara mendasar adalah, kalau ditanya siapa saingan ekosistem seperti kami ini, sepertinya entah mereka sudah menjadi kompetitor kami dan hioang, sudah mati semua dan kami masih bertahan, atau mungkin tidak dapat berkompetisi dengan kami, atau yang kedua tadi, yang muncul yang baru-baru. Sudah tidak mau buat seperti kami. Layaknya sekarang mau menyaingi Tokopedia, sudah malas kan? Ya sudah, misalkan saya mau membuat yang fokus saja, skincare deh, misalkan begitu. Alhasil lebih menjadi vertikalisasi.
Kalau dilihat dari kami, melihatnya justru lebih banyak yang B2B yang tadi saya katakan sudah banyak dari itu, banyak yang vertikal. Industri vertikal inilah yang bersaing di lapangan. Karena skincare A ketemu skincare B, sama-sama mau menyuplai, misalnya kemana begitu. Misalnya yang lain produksi bahan makanan X dengan Y. Jadi mereka mau kemana? Nah, mereka lah yang saingan, jadi bukan dari platform B2B, kira-kira begitu.
Lagi-lagi, platform kami agnostik, itulah perbedaan besar kami. Kedua, kami murni sebagai perusahaan teknologi. Beberapa perusahaan, ada yang bukan murni platform teknologi, banyak orang di lapangan. Sedangkan kami hanya 200 karyawan, bahkan sekarang kurang dari 200 karyawan, mungkin hanya 150-160 karyawan. Jadi memang murni mengembangkan teknologi.
Jadi jika kami harus menonjol atau stand-out, tetaplah menjadi perusahaan teknologi saja, yang harus bisa dipergunakan oleh berbagai macam bisnis. Agnostik begitu sih.
Terkait platform untuk pekerja lepas/freelancer seperti Ralali Agent, sebenarnya apa pembedanya dengan platform lainnya dan bagaimana tetap menjadi top of mind di kalangan pekerja lepas?
Pembeda lainnya, hmm. Sebenarnya mungkin kalau pekerja itu lebih luas ya, luas itu maksudnya seperti, saya juga tidak tahu kerjanya apa saja. Namun yang pasti kalau dari kami itu, Ralali Agent itu tujuannya adalah membantu bisnis. Jadi dari ekosistem yang ada di Ralali sudah ada, mereka pasti butuh orang.
Kalau arahnya bisnis, berarti kemungkinan besar yang kami fokuskan itu tadi, Anda butuh orang untuk mendorong penjualan atau butuh orang untuk bantu produksi ketika ada penjualan.
Contohnya katering. Misalnya perusahaan katering mendapat pesanan langsung 2.000 pesanan. Mereka pasti tidak siap tenaga kerjanya. Biasanya hanya menyediakan 200 pesanan kan, tiba-tiba mendapat 2.000 pesanan.
Nah, klasterisasi dari kebutuhan orang katering tadi itu biasanya kalau di platform pekerja lepas, tidak ada, karena tidak ada yang spesifik untuk pekerjaan seperti pemotong sayur ini, bukan bisnis begitu. Arahnya itu pekerja lepasannya tuh adalah desainer, pengembang situs (web developer), pengisi suara (voice over), penata rias (makeup artist), atau fotografer. Industri yang arahnya adalah industri kreatif.
Kami lebih kepada pekerja kerah biru, seperti pekerjaan sales, semacam pekerjaan lainnya yang sangat-sangat produktif sehingga kami menyebutnya pekerja produktif. Jadi kami pekerja produktif, bukan pekerja kreatif. Kami produktif bekerja di sales, orang yang bisa kanvas.
Misalnya di satu daerah ada berapa apotik, nah sebarkan orang untuk melakukan kanvas, mendapatkan data, sangat-sangat ditujukan untuk bisnis, untuk menumbuhkan sebuah bisnis. Dan, memangnya enggak ada kreatif? Iya ada. Tetapi lebih baik kami bermitra saja dengan platform sebelah yakni Sribu.com. Mereka sudah punya 10 ribu pekerja kreatif.
[Joseph menyebutkan tipikal Ralali Agent adalah pekerja yang dibayar sesuai kebutuhan atau pay on demand].
Saat ini, Ralali Agent itu belum kita spin off [terpisah dan untuk menjadi platform yang sering diingat orang atau top of mind]. Jadi, mirip seperti Grab sama OVO kan terpisah. Kira-kira seperti itu. Nah, jadi sama. Ralali Agent ini nggak kami paksakan terlalu, sebagai platform terpisah untuk saat ini.
Kami melihatnya ini sebagai paketan atau bundling. Jadi, kalau bergabung di Ralali.com, baru bisa pakai servisnya Ralali Agent. Jadi, Anda enggak hanya mau pakai langsung ke sana. Kami enggak memasarkan sebagai top of mind-nya ini. Tapi, kami terlibat dengan bisnis, ketemu tadi, brand-brand tadi, mau melakukan apa.
Nah, setiap kali mereka mau melakukan bisnis begitu pasti ada orang kan? Kami tinggal melakukan apa? ‘Oh tenang bu, kami punya.’ Kami menyebutnya adalah pemasaran yang disematkan (embedded marketing). Pemasarannya bukan yang agennya mengiklan sendiri, Ralali.com mengiklan sendiri. Akhirnya itu sangat-sangat menghabiskan biaya.
Sekarang di Ralali.com, Anda masuk, kami bisa bantu Anda untuk menumbuhkan bisnis. 'Oke, Pak, mau kemana? Ke Makassar. Oke, kami tanyakan. Sudah ada tenaga kerjanya? Belum ada. Oke, coba.'
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement