Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Buta Huruf Keuangan

Oleh: Rahman Mangussara, Founder Center for Financial and Digital Literacy

Buta Huruf Keuangan Kredit Foto: CFDL
Warta Ekonomi, Jakarta -

Berita yang ditulis awal Juli 2023 itu menyentak kesadaran kita. "Seorang suami tega membunuh istrinya yang terlilit utang Bank Emok". Berita lain pun tak kalah tragisnya, "Seorang ibu membunuh anaknya, lalu dia gantung diri karena terlilit kredit di Bank Emok".

Kedua peristiwa memilukan itu terjadi di wilayah Jawa Barat. Bank emok adalah jasa pemberi pinjaman yang disalurkan kepada sejumlah orang sambil duduk lesehan yang dalam bahasa Sunda disebuk 'emok'. Pinjaman diberikan berkelompok, sekitar 10 orang, di mana setiap orang dalam kelompok harus ikut bertanggung jawab mana kala salah satu atau salah dua dari kawannya gagal bayar. Bank emok menyasar kaum wanita, ibu-ibu di desa dan perkampungan sebagai konsumennya.

Baca Juga: Tingkatkan Layanan bagi Pelaku Pasar Surat Utang dan Sukuk, BEI Lakukan Hal Ini

Bank emok memang khas Jawa Barat, namun dengan nama berbeda tetapi sistem operasi yang setali tiga uang ada di sejumlah daerah. Ini adalah fenomena di banyak tempat, jika tidak boleh mengatakan di semua tempat di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini. Ada yang ilegal, pun tidak sedikit juga legal.

Masalahnya, pinjaman ini berbunga super tinggi sekitar 30% hingga 40% sebulan dan sebagian besar dipakai bukan untuk tujuan produktif. Beberapa laporan menyebutkan kredit berbunga mencekik itu dipakai untuk membayar utang, keperluan rumah tangga dan untuk gaya hidup seperti membeli telepon atau hal-hal konsumtif lainnya. Di sejumlah kasus, para pemijman ini terpaksa meminjam lagi di tempat lain untuk membayar cicilan. Begitu seterusnya, gali lubang tutup lubang, hingga pada satu titik, mereka tidak sanggup lagi 'menggali lubang' dan ... boom... masalah pun muncul.

Entah bagaimana dan kenapa, wanita adalah kelompok yang paling banyak meminjam, termasuk dan terutama lewat pinjaman online, tidak terkecuali di pinjaman online ilegal. Wanita di sini adalah ibu rumah tangga dan juga wanita muda dengan kisaran umur yang masuk kategori Milenial-Z yakni 19 tahun hingga 34 tahun.

Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), outstanding pinjaman kelompok wanita hingga Mei 2023 mencapai Rp25,5 trilun dari total pinjaman per seorang Rp45,7 triliun atau lebih dari 55%. Dengan komposisi itu, mudah ditebak jika pinjaman tidak lancar hingga macetnya juga terbesar berada pada golongan wanita dan wanita-wanita muda itu.

Melek Finansial

Seraya diperlukan penelitian lanjutan yang lebih detil dan valid untuk menjawab pertanyaan dasar bagaimana dan kenapa kelompok wanita dan generasi muda lebih banyak meminjam, kita perlu memfokuskan program literasi keuangan kepada dua golongan demografi ini.

Melek keuangan adalah salah satu kompensi dasar yang mutlak dimiliki untuk mengarungi hidup di abad 21 ini, jika tidak ingin tersesat. Kecakapan baca tulis dan menghitung yang pada abad sebelumnya diwajibkan, sekarang ini tidak lagi memadai. Pengetahuan keuangan dan keahlian dalam mengelolanya mutlak dimiliki, terlebih untuk anak-anak muda yang sedang merancang masa depan. Fakta bahwa produk-produk keuangan makin njelimet, sulit dimengerti seketika dengan segala risikonya ditambah kejahatan finansial yang canggih dan rumit, membuat literasi keuangan bukan saja penting melainkan juga genting.

Terdapat lima prinsip utama dalam literasi keuangan yang wajib diketahui dan diamalkan:

1. Pendapatan. Pahami dan kelola penghasilan, gaji, dan tunjangan untuk mendapatkan hasil yang maksimal, termasuk merencanakan masa depan atau pensiun.

2. Tabungan dan Investasi. Menambung dan investasikan penghasilan, termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan, seperti membeli properti atau transportasi.

3. Perlindungan Diri. Lindungi diri dan kekayaan dari situasi darurat yang tak terduga, seperti sakit atau kecelakaan fatal antara lain dengan asuransi dan simpanan darurat.

4. Belanja. Mengatur pengeluaran untuk hal-hal yang bernilai dan sesuai kebutuhan. Jangan besar pasak dari tiang.

5. Pinjaman. Saat memutuskan untuk berutang, pastikan kredit tersebut bisa dibayar dengan penghasilan yang ada. Bukan gali lubang tutup lubang.

Pokok soalnya adalah tingkat buta huruf keuangan masyarakat Indonesia masih sekitar 49%, sementara inklusinya sudah mencapai di atas 80%. Bahasa terangnya, masyarakat sudah mengenal dan memakai produk keuangan tetapi pengetahuan tentang produk tersebut belum memadai. Inilah penjelasan kenapa: (1) Kejahatan keuangan banyak terjadi. (2) Salah dalam memilih jenis investasi. (3) Tidak memahami risiko investasi. (4) Ikut-ikutan trend dalam berinvestasi, alias FOMO – fear of missing out - investasi. (5). Tidak cakap mengelola keuangan.

Cerita tentang guru yang banyak menjadi korban pinjaman online ilegal, seperti yang pernah diakui oleh OJK dalam beberapa kesempatan, mengindikasikan literasi keuangan benar-benar diabaikan. Bagaimana mungkin mereka yang melek pengetahuan dan informasi justru buta huruf keuangan yang mengakibatkan mereka terjerumus dan jadi korban kejahatan.

Baca Juga: Kasus COD Terjadi karena Literasi Finansial Masyarakat Masih Rendah

Tentu saja harus segera diberikan penjelasan lain kenapa guru yang memiliki banyak sumber pengetahuan dan informasi justru terjebak masalah keuangan ilegal, misalnya, faktor kecukupan ekonomi. Masalah ini perlu penangan khusus karena berkaitan dengan kemaslahatan pendidik.

Bagaimana meningkatkan pengetahuan dan kecakapan keuangan adalah tugas dan tanggung jawab utama pemerintah. Tentu saja pelaku usaha jasa keuangan mesti ikut berkontribusi, namun aktor utamanya tetatplah pemerintah. Kecakapan keuangan mesti menyamai inklusinya, setidak-tidaknya mendekatinya. Jika terus tertinggal jauh di belakang, berpotensi jadi bumerang yang dapat mengacaukan pencapaian inklusi keuangan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ayu Almas

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: