Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Algoritma adalah Mantra

Oleh: Rahman Mangussara, Founder Center for Financial and Digital Literacy

Algoritma adalah Mantra Kredit Foto: CFDL
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bayangkanlah cerita ini. Seorang konsumen dengan riang gembira berjalan memasuki toko untuk membeli satu set pakaian dengan membayangkan bahwa dialah yang memilih model dan warna berdasarkan selera dan kepribadiannya.

Pada kenyataannya, si konsumen yang terhormat itu mematuhi arahan, perintah, dan rekomendasi dari ‘influencer’  yang dia kenal samar-samar lewat media sosialnya, dimana sang influencer bekerja atas bayaran komersial.

Baca Juga: Source of Truth, Pentingnya Pusat Data Nasional untuk Pemerintahan Digital

Influencer, sebagai ‘sang pengarah’ bisa saja orang, namun dalam beberapa tahun terakhir ini, sudah didapati, dan umum terjadi, hanya berupa perangkat lunak yang bekerja diam-diam entah dimana di dalam sistem jaringan internet. Inilah penguasa bayangan yang mengarahkan publik untuk membeli ‘yang ini’ dan bukan ‘yang itu’. Memilih yang sana dan bukan yang sini.

Mungkin terkesan melebih-lebihkan manakala mengatakan bahwa dalam satu dekade terakhir - dimana peradaban teknologi digital semakin rumit bin canggih yang berkembang pesat secara eksponensial yang belum ada presedennya di masa lalu - selera-selera kita diarahkan, pikiran-pikiran kita dimodelkan, dan tindakan-tindakan kita dituntun oleh sesuatu di dalam teknologi digital yang membaca kebiasaan-kebiasaan kita. Sesuatu itu bernama algoritma.

Hatta, si konsumen tadi adalah kita semua yang menyerahkan keputusan dan otoritas personal kita kepada media sosial yang bekerja berdasarkan algoritma. Ya, tak diragukan lagi, kita sekalian, termasuk institusi, pun entitas bisnis, makin banyak memberikan kewenangan kepada algoritma untuk mengambil keputusan tentang banyak hal dalam kehidupan sehari-hari.  

Bahkan dalam skala tertentu, kita memberikan kewenangan kepada algoritma memutuskan hal – hal prinsip, seperti mencari rumah, pekerjaan atau menentukan pilihan dalam pemilihan umum.  Yang disebut terakhir ini membuktikan kekuatannya pada pemilihan umum Amerika Serikat tahun 2016.

Secara teori, publik memutuskan pilihan dan tindakan mereka secara merdeka. Faktanya, kekuasaan itu sekarang pindah ke algoritma. Maka tidaklah heran jika orang atau lembaga memanfaatkan kekuatan bahasa komputer ini untuk melihat dan mempengaruhi persepsi publik.

Sesungguhnya peran algoritma dalam kehidupan manusia sudah lama terjadi. Adalah matematikawan Persia abad ke 9 bernama Muhammad Ibn Musa Al–Kwarizmi yang pertama kali mengenalkan konsep penyelesaian permasalahan menggunakan angka-angka dalam bukunya berjudul, ‘Al-Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa Muqabala’’ (Buku Ringkasan Tentang Penyelesaian Persamaan dan Pemulihan) yang menjadi dasar dari apa yang dikenal saat ini sebagai algoritma. Kata algoritma sendiri adalah terjemahan bebas orang Barat dari Al-Kwarizmi, nama sang ilmuwan.

Intensitas tinggi penggunaan algoritma dalam pengambilan keputusan terjadi beberapa tahun belakangan ini.  Teknologi digital dan platform-nya, antar lain e-commerce dan media sosial, yang berkembang pesat sejak dasawarsa terakhir yang mendorong penggunaan algoritma hingga ke posisinya sekarang.

Saat ini, kita nyaris sepenuhnya tergantung pada pengaruh algoritma, mulai dari mencari film (Netflix memilihkannya), menentukan arah jalan ke suatu tempat (Google Maps melakukannya, meskipun tidak jarang ada kesasar ke kuburan atau mentok di jalan buntu ), mencari konten (TikTok, IG dan FB menampilkan di time line penggunanya).  Bahkan produsen otomotif berlomba membuat mobil cerdas yang dapat dijalankan tanpa sopir dengan menggunakan algoritma kecerdasan buatan. Tentu saja masalah ini akan melahirkan pertanyaan etis, apakah manusia sepenuhnya memberikan kekuasaan pengambilan keputusan kepada komputer?

Bagi si konsumen tadi dan kita semua, algoritma adalah mantra.  Mantra ajaib yang menyelesaikan sebagian, jika bukan semua, masalah yang kita hadapi. Semua pertanyaan (masalah) yang kita ajukan, dijawab (diselesaikan) dalam sekejap oleh algoritma, bahkan ketika pertanyaan Anda salah, algoritma dengan senang hati membetulkannya, ‘’Ini yang kamu maksud…..?’’

Mahadata

Algoritma bekerja berdasarkan data digital yang terkumpul dalam jumlah besar dan rentang waktu yang lama. Mahadata yang menjadi bahan-bahan bakar ini kemudian dikelompokkan, difilter, dibobot dan sebagainya untuk digunakan sesuai dengan keperluan penggunanya.

Lantas dari mana dan bagaimana data itu dikumpulkan? Data-data itu dikumpulkan dari miliaran pengguna platform yang sebagian besar, kalau tidak ingin mengaitkan seluruhnya, menyerahkan informasi dirinya secara sukarela dan riang gembira hanya karena kita memilih untuk mendapatkan layanan gratis.  Layanan tak berbayar punya konsekuensi, yakni platform  meminta data-data pribadi sebanyak yang mereka butuhkan. Begitulah data (bedakan dengan layanan berbayar) dikumpulkan yang kemudian menjadi mahadata yang digunakan oleh Google, YouTube, Facebook, Instagram, TikTok, Amazon, Netflix, sekadar menyebut beberapa raksasa digital itu.

Dalam organisasi sosial masa kini - saat mana persetujuan masyarakat penting untuk diketahui dan didengar - data dan informasi digital bisa digunakan untuk melihat kecenderungan pendapat khalayak.  Dan, hal itu dilakukan dengan bantuan algoritma. Di banyak lembaga, pemerintah maupun privat, terdapat sepasukan ahli yang bekerja siang malam memonitor pendapat dan persepsi publik untuk dijadikan masukan dalam rangka mempengaruhi mereka.

Institusi yang sensitif terhadap kepercayaan masyarakat dan opini konsumen, katakanlah di bidang perbankan, pasar modal, dan sistem pembayaran yang berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) umumnya telah. memanfaatkan jasa algoritma untuk mencermati apa yang dipikirkan masyarakat awam tentang mereka.

Jadi, katakanlah,  jika para pesohor atau pebisnis atau pengambil keputusan bahkan politisi, ingin mempopulerkan fesyen atau gagasan atau kebijakan publik atau memilih dirinya dalam pemilu, tak diragukan lagi mereka akan melihat, menggunakan dan memanfaatkan algoritma. Kekuatan mempengaruhi khalayak telah lama pindah dari iklan cetak kepada konten dengan pengetahuan algoritma. Itu pasti!

Manusia, agaknya, tidak pernah yakin apa yang sepenuhnya menjadi alasan mereka memutuskan dan melakukan sesuatu. Tapi, algoritma bisa menemukannya, lewat jejak-jejak tindakannya di masa lalu yang terakumulasi sekian lama. Google dapat dengan pasti memberitahukan bahwa Si A memiliki kecenderungan politik tertentu berdasarkan catatan pencariannya di mesin pencari Google yang, hampir pasti, tidak ada satu yang mengetahuinya selain Google dan tentu saja dirinya sendiri.  Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika baru-baru ini menemukan bahwa orang bisa berbohong pada pasangannya tentang satu hal tapi tidak pada mesin pencari Google. Pengungkapan studi ini melahirkan pernyataan: jangan percaya apa yang dia katakan, percayalah apa yang dia cari di Google.

Baca Juga: Fasset Peroleh Lisensi VARA di Dubai, Siap Layani Transaksi Aset Digital Global

Jadi kalau ingin melihat penduduk di daerah yang paling banyak mencari kata kunci, tiga nama pasangan calon presiden, tengoklah Google Trends. Namun bersiaplah untuk terkejut bila hasilnya berbeda dengan informasi survei.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: