Selama 50 tahun berkiprah di Tanah Air, Tripatra telah sukses menorehkan tinta emas di bidang kerekayasaan. Kini, Tripatra tengah melakukan transformasi guna menyongsong masa depan cerah hingga 50 tahun mendatang.
President Director & CEO PT Tripatra Engineers and Constructors (Tripatra), Raymond Naldi Rasfuldi, sangat bersemangat ketika mengisahkan jejak langkah Tripatra selama menjalani bisnis di Indonesia. Ia mengatakan Tripatra berdiri pada tahun 1973 sebagai perusahaan konsultan dan kini telah menjelma sebagai perusahaan energi terpadu nasional yang meliputi sektor hulu, hilir, minyak dan gas, petrokimia, hingga energi terbarukan.
"Tripatra memiliki sejarah panjang di Indonesia dan akan terus tumbuh secara berkelanjutan," katanya dalam kegiatan media gathering yang digelar di Gandaria, Jakarta, awal Agustus lalu.
Baca Juga: TRIPATRA Terus Berkomitmen Bangun Negeri Melalui Solusi Kerekayasaan yang Inovatif dan Berkelanjutan
Raymond memastikan sejarah panjang tersebut telah membentuk Tripatra menjadi sebuah perusahaan penuh pengalaman dalam menangani berbagai macam proyek. Ia menyebutkan beberapa proyek skala raksasa yang pernah dikelola oleh Tripatra seperti proyek EPC Banyu Urip yang bekerja sama dengan ExxonMobil dan Pertamina.
"Proyek EPC Banyu Urip saat ini berkontribusi sekitar 20-22 persen terhadap produksi minyak negara. Di proyek tersebut sekitar 60 persen insinyur merupakan orang Indonesia. TKDN di fasilitas minyak tersebut mencapai 38 persen," paparnya.
Selain itu, Tripatra membangun sebuah unit produksi terapung (floating production unit/FPU) di Blok Muara Bakau atau biasa dikenal sebagai Proyek FPU Jangkrik. Tripatra menyediakan layanan EPCI untuk pembangunan fasilitas FPU termasuk instalasi 3 gas compression station.
"Kemudian ada Proyek Jangkrik yang dibangun di atas kapal dengan 65-70 persen dikerjakan oleh para insinyur Indonesia. Di proyek ini TKDN mencapai 43 persen," sebutnya.
Pria lulusan Universitas Texas A&M ini mengatakan Tripatra mengalami periode pertumbuhan paling pesat ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2010 silam. Tripatra menjadikan momentum tersebut untuk meningkatkan kompetensi dan kapabilitas perusahaan.
"Perkembangan Tripatra paling pesat terjadi pada tahun 2010 lalu karena kenaikan harga minyak dunia dari 40 dolar AS ke 100 dolar AS," sebutnya.
Perjalanan panjang Tripatra penuh dengan aral rintangan. Salah satu tantangan yang tengah dihadapi adalah tren peralihan dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Selain itu, adapula tren hilirisasi mineral yang terjadi di Tanah Air.
Raymond menyadari Tripatra wajib melakukan perubahan menyambut era baru tersebut. Ia memastikan cara kerja 50 tahun ke belakang tidak akan berjalan dengan baik di era transisi energi dan hilirisasi mineral. Oleh karena itu, ia mengibaratkan momentum 50 tahun Tripatra sebagai jembatan bagi perusahaan untuk melakukan transformasi guna menyambut era baru mendatang.
"Selama 50 tahun Tripatra memiliki pengalaman cukup banyak dalam mengembangkan sebuah industri migas mulai dari hulu hingga hilir. Hal-hal yang sudah berhasil membantu kita mencapai 50 tahun tak akan bisa mengantarkan kita menuju 50 tahun mendatang," tegasnya.
Mampukah Tripatra melakukan transformasi bisnis guna menyambut era transisi energi dan hilirisasi mineral?
Transformasi Bisnis
Saat ini Indonesia tengah memasuki masa transisi energi dari energi fosil ke EBT menuju net zero emission (NZE) pada tahun 2060 mendatang. Indonesia mendapat keberkahan karena memiliki potensi EBT yang cukup besar. Meski demikian, perlu dukungan banyak pihak termasuk sektor swasta guna mengoptimalkan potensi EBT nasional.
Perlu diketahui, potensi EBT Indonesia tercatat sebesar 3.689 gigawatt yang terdiri dari energi surya, hidro, bio energi, angin, panas bumi, dan laut. Adapun, pemanfaatan EBT pada saat ini baru mencapai 0,3 persen dari total potensi atau baru terpasang sebesar 12.557 megawatt.
Selain itu, Indonesia tengah memasuki masa hilirisasi mineral untuk meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Sama seperti EBT, Indonesia memiliki kekayaan mineral yang melimpah seperti nikel, timah, hingga tembaga yang sangat penting untuk pembuatan baterai untuk mobil listrik dan sistem penempatan energi terbarukan lainnya.
Dengan percepatan hilirisasi mineral maka Indonesia membuka peluang baru bagi perekonomian sekaligus meningkatkan nilai tambah bagi sumber daya alam dan memperkuat industri nasional di dalam negeri.
"Apakah kita akan memilih pilihan mengutamakan transisi energi atau apakah kita akan terus memakai dan menggunakan energi fosil kita? Ini merupakan pilihan karena Indonesia punya keduanya, yakni kekayaan fosil dan kekayaan energi terbarukan," jelas Raymond.
Raymond merasa optimis Tripatra bisa memberikan kontribusi positif guna mempercepat proses transisi energi dan hilirisasi mineral di Tanah Air. Oleh karena itu, Tripatra tidak ragu-ragu menyiapkan visi baru bagi perusahaan yakni: membangun solusi berkelanjutan untuk transformasi energi dan percepatan hilirisasi.
"Pada tahun 2019 kita mulai memikirkan apa sih roadmap Tripatra selanjutnya? Kita ingin menyediakan solusi inovatif dan berkelanjutan untuk mendukung transisi energi dan percepatan hilirisasi. Saat ini kita mulai mengalihkan fokus dari proyek-proyek hulu migas ke transisi energi dan hilirisasi," paparnya.
Beberapa proyek ramah lingkungan yang sudah dijalankan Tripatra berkaitan dengan EBT seperti proyek perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Salak yang bekerja sama dengan Star Energy Geothermal Salak Ltd (SEGS). Proyek ini menargetkan peningkatan kapasitas produksi energi listrik pada PLTP Salak dengan memanfaatkan kembali limbah panas (waste heat) dari kegiatan produksi listrik sebagai energi terbarukan.
Selain itu, Tripatra pernah mengembangkan proyek Green Ammonia yang memanfaatkan energi terbarukan dari tenaga air untuk menghasilkan amonia dengan intensitas karbon rendah (green ammonia).
Pria yang merintis karier di bidang kerekayasaan sejak tahun 1997 ini mengatakan hal paling krusial bagi Tripatra dalam melakukan transformasi bisnis ialah transformasi sumber daya manusia (SDM). Apalagi, adalah sumber daya paling penting bagi Tripatra yakni insinyur ahli sebanyak 1.000 lebih per 2023 ini.
"Perlu diingat, Tripatra tidak memiliki sumber daya alam sehingga para insinyur ahli tersebut harus berpikir keras untuk mengoptimalkan potensi dan kapabilitas mereka," tegasnya.
Sejauh ini transformasi Tripatra dari aspek sumber daya manusia terbilang cukup berhasil. Terbukti, dari berbagai macam proyek ramah lingkungan yang dijalankan oleh para insinyur Tripatra berjalan dengan baik.
"Kita tidak bicara teori dan ide, tapi kita bicara aplikasi praktis yang Tripatra dengan kapabilitas mampu berkontribusi di sana. Saat ini SDM Tripatra tidak bisa lagi hanya mengerti persoalan teknis semata, tetapi juga harus mulai paham soal teknologi, investasi, market demand," sebutnya.
Dengan kualitas insinyur ahli di perusahaan, Raymond semakin percaya diri atas kemampuan Tripatra untuk mendorong percepatan transisi energi dan hilirisasi mineral di Tanah Air. Ia juga optimis negara Indonesia akan memimpin proses transisi energi di dunia.
"Saat ini Tripatra menjadi bagian dari pelaku sejarah energi dan mineral Indonesia. Hilirisasi mineral adalah kunci penting untuk mendukung pengembangan energi terbarukan sekaligus transisi energi di Indonesia," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement