Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Manisnya Hilirisasi Kakao, Indonesia Jadi Pemasok Rantai Global

Manisnya Hilirisasi Kakao, Indonesia Jadi Pemasok Rantai Global Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika. | Kredit Foto: Kemenperin
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus untuk terus menjalankan kebijakan nasional hilirisasi industri pegolahan kakao di dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah, memperkuat struktur industri, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Adapun pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk cokelat, lemak cokelat, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao, serta pengembangan cokelat artisan.

Baca Juga: Jawaban Bahlil Ditantang Ganjar Pranowo Ekonomi RI Harus Tumbuh 7%: Kuncinya Hilirisasi!

Pasalnya, potensi Indonesia saat ini merupakan negara pengolah kakao ketiga terbesar di dunia yang memproduksi bebagai produk kakao olahan seperti cocoa pasta/liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder. Sebagian produk tersebut diolah lebih lanjut di dalam negeri (sekitar 20%), dan selebihnya diekspor ke lebih dari 96 negara di lima benua.

"Ekspor produk intermediate tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai pemasok rantai global dengan kontribusi sekitar 9,17% dari kebutuhan dunia," kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, dalam keterangannya, Kamis (24/8/2023).

Menurutnya, peningkatan nilai ekspor kakao olahan didukung oleh sejumlah investasi perusahaan multinasional. "Hal ini merupakan dampak dari kebijakan bea keluar terhadap ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 Tahun 2010," terangnya.

Dari investasi tersebut juga, semula kapasitas terpasang industri pengolahan kakao sebesar 560.000 ton per tahun, naik menjadi 739.250 ton per tahun. Selain itu, ekspor biji kakao pada tahun 2013 sebesar 188.420 ton (senilai US$446 juta), turun menjadi 24.603 ton (senilai US$64 juta) pada 2022. Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari 196.333 ton (senilai US$654 juta) pada tahun 2013 menjadi 327.091 ton (senilai US$1,1 miliar) tahun 2022.

"Sejak tahun 2015, ekspor kakao olahan kita selalu di atas US$1 miliar. Bahkan, Indonesia sudah menjadi pemain global kakao olahan dengan posisi ekspor cocoa butter kita nomor dua di dunia setelah Belanda," ungkap Putu.

Lebih lanjut, Putu menyampaikan, lima tahun lalu komposisi ekspor kakao olahan antara (intermediate product) sebesar 85%, dan 15% diproses lebih lanjut di dalam negeri menjadi produk akhir (finished good) berupa makanan dan minuman berbasis cokelat. "Saat ini, komposisi produksi olahan cokelat di dalam negeri telah meningkat menjadi 20%. Artinya, produk kakao olahan di dalam negeri mengalami penguatan atau terjadi hilirisasi lebih lanjut," terangnya.

Cokelat Artisan

Sejauh ini, produk cokelat sebagian besar masih diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Konsumsi cokelat per kapita di dalam negeri meningkat dari 0,37 kg per kapita pada tahun 2018 menjadi 0,49 kg per kapita tahun 2022.

Ekspor produk cokelat juga mengalami peningkatan dari US$45 juta pada 2018 menjadi US$77 juta di tahun 2022 atau naik rata-rata 14,65% per tahun. Saat ini, terdapat 31 perusahaan atau produsen cokelat artisan dengan kapasitas 1.242 ton per tahun.

"Salah satu produk cokelat yang berkembang adalah cokelat artisan bean to bar atau yang sering juga dikenal sebagai craft chocolate," ujar Putu. "Produk craft chocolate sangat digemari oleh wisatawan mancanegara dan kalangan menengah atas di dalam negeri karena menghasilkan produk dengan rasa yang unik yang didukung dengan cerita tertentu yang berasal dari daerah tertentu," tambahnya.

Cokelat artisan biasanya diproses dari biji yang berasal dari daerah tertentu (single origin), misalnya craft bean to bar dari Ransiki (Papua), Berau (Kalimantan Timur), atau Jembrana (Bali), dan lain-lain. Produk cokelat artisan bean to bar memiliki nilai tambah yang paling tinggi. Sebagai gambaran, produk artisan bean to bar memiliki nilai tambah berkisar 700% hingga 1.500%, sedangkan produk cokelat lainnya berkisar 100% hingga 300%.

Indonesia memiliki peluang untuk pengembangan cokelat artisan karena didukung sekitar 600 profil aroma yang dapat digunakan sebagai modal dasar inovasi dan variasi produk cokelat artisan. Karena nilai tambahnya yang tinggi, produsen cokelat artisan ini mampu membeli biji kakao dengan harga yang lebih bersaing, sekitar Rp50.000 per kg hingga Rp70.000 per kg, di mana harga biji kakao pada umumnya sekitar Rp30.000 per kg.

Baca Juga: Revolusi Hilirisasi: Mengapa Ekspor Bukan Hanya Soal Angka, Tapi Juga Manfaat Nyata?

Produsen cokelat artisan membutuhkan biji kakao yang telah difermentasi dengan kualitas premium, sedangkan produsen kakao olahan lainnya masih dapat mengolah biji kakao asalan. "Oleh karena itu, pemerintah melalui Kemenperin akan terus mendorong hilirisasi pengolahan cokelat artisan," tegas Putu.

Program pengembangan cokelat artisan bean to ba, telah dimulai dengan pembentukan wadah (perkumpulan/asosiasi) yang akan dilanjutkan dengan berbagai program kerja, antara lain peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) bagi chocolate maker.

Selain itu, kampanye peningkatan konsumsi cokelat di dalam negeri, kampanye cokelat untuk kesehatan dan lifestyle, promosi atau pameran nasional maupun internasional, program fasilitasi restrukturasi mesin dan peralatan dalam rangka peningkatan teknologi, serta dukungan terhadap program sustainability dan traceability pada rantai pasok.

"Penyelenggaraan event bertaraf internasional, seperti pameran, promosi, dan kompetisi pengolahan kakao yang diselenggarakan di daerah-daerah tujuan wisata nasional, seperti Bali, Yogyakarta, dan lain-lain, diharapkan mampu menjadikan Indonesia sebagai episentrum kegiatan cokelat global. Hal ini perlu didukung oleh para pemangku kepentingan terkait," pungkas Putu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ayu Rachmaningtyas Tuti Dewanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Advertisement

Bagikan Artikel: