Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Revolusi Hilirisasi: Mengapa Ekspor Bukan Hanya Soal Angka, Tapi Juga Manfaat Nyata?

Revolusi Hilirisasi: Mengapa Ekspor Bukan Hanya Soal Angka, Tapi Juga Manfaat Nyata? Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Said Didu, pemerhati BUMN, memberikan paparan tentang Hilirisasi, Untungkan Siapa? dalam wawancara eksklusif di program Zoominari Kebijakan Publik yang diselenggarakan Narasi Institute pada Jumat (18/08/2023) yang dipandu oleh Achmad Nur Hidayat.

Said Didu menyoroti konsep hilirisasi yang saat ini diterapkan tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional. Menurutnya, konsep ini lebih berfokus pada jumlah bahan baku yang diolah dan jumlah ekspor yang terjadi, tanpa memperhatikan manfaat nyata yang diterima oleh negara dan rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, nilai ekspor dan jumlah bahan baku yang diolah menjadi titik fokus, bukan sejauh mana hasil ekspor tersebut memberikan keuntungan bagi negara.

Said Didu menjelaskan bahwa penekanan pada angka-angka seperti ekspor senilai Rp510 triliun hanya menciptakan citra positif tanpa mengungkapkan kepemilikan sebenarnya dan bagaimana manfaatnya dialirkan kepada bangsa Indonesia. Dalam perdebatan yang mencuat antara Faisal Basri dan Presiden, Said Didu menyatakan bahwa diskusi ini seolah-olah hanya berlangsung sebagai pencitraan politik semata, karena tidak mengupas esensi dari siapa yang sebenarnya mendapatkan manfaat dari angka tersebut.

Said Didu menegaskan bahwa elemen-elemen seperti jumlah ekspor dan volume bahan baku yang diolah bukanlah tolok ukur yang tepat dalam mengevaluasi manfaat yang diterima oleh negara. Dia berpendapat, perdebatan tersebut tidak relevan karena tidak mempertimbangkan berapa nilai ekspor yang benar-benar dimiliki oleh Indonesia dan berapa yang dinikmati oleh rakyat, serta bagaimana pemerintah mampu mengalokasikan manfaat tersebut secara adil.

Dengan menggarisbawahi pentingnya merumuskan basis yang sesuai dengan kepentingan nasional, Said Didu menyimpulkan, perdebatan antara Presiden dan Faisal Basri sejatinya tidak saling terhubung. Yang dibahas oleh Presiden adalah jumlah ekspor dan bahan baku yang diolah, sedangkan yang diangkat Faisal Basri adalah masuknya nilai nyata ke negara dan masyarakat.

Dalam pandangan Said Didu, hanya mengutamakan angka-angka ekspor tidak cukup, sementara fokus pada manfaat yang diterima oleh negara dan rakyat merupakan hal yang lebih penting dalam konteks hilirisasi.

Perdebatan Faisal Basri dan Presiden tentang Ekspor

Dalam perdebatan yang dijelaskan Said Didu, terjadi konfrontasi pandangan antara Faisal Basri dan Presiden terkait isu ekspor dan hilirisasi. Menurutnya, perdebatan ini bukanlah substansial karena terfokus pada presentasi angka ekspor sebesar Rp510 triliun tanpa memberikan gambaran lebih lanjut tentang kepemilikan dan manfaat yang diperoleh oleh Indonesia.

Said Didu menjelaskan, Presiden menggunakan angka ekspor yang cukup besar sebagai bukti kesuksesan hilirisasi, tetapi angka tersebut tidak dijelaskan dengan detail mengenai bagaimana porsi manfaat yang masuk ke negara dan rakyat Indonesia. Pandangan Presiden terkesan hanya sebagai upaya pencitraan positif tanpa menggali lebih dalam tentang manfaat yang sebenarnya.

Sementara itu, Faisal Basri mempertanyakan keuntungan nyata yang diperoleh oleh Indonesia dalam konteks hilirisasi. Dia mencermati, meskipun angka ekspor besar telah dicapai, sebagian besar manfaat ekspor justru dinikmati oleh China, yang diperkirakan mencapai lebih dari 90%. Hal ini menunjukkan bahwa fokus ekspor yang seolah-olah menguntungkan Indonesia, sebenarnya lebih menguntungkan China.

“Itu rakyat harus memahami bahwa milik bangsa Indonesia itu hanya setelah sampai dengan masuknya tanah yang mengandung nikel or biji nikel ke smelter, nah setelah itu sudah milik China, jadi ekspor dari pabrik itu adalah mengekspor barang China, bukan barang Indonesia. Nah, itu yang harus dipahami, jadi tidak bisa dinyatakan bahwa ekspor nikel menguntungkan Indonesia, bukan ekspor barang Indonesia, itu ekspornya barang China,” ujar Said Didu, mengutip keterangan tertulis, Selasa (22/8/2023).

Said Didu menilai perdebatan ini menunjukkan perbedaan pandangan yang mendasar antara Presiden yang mengedepankan pencapaian angka ekspor besar sebagai indikator kesuksesan hilirisasi dan Faisal Basri yang mengangkat isu pentingnya menganalisis manfaat ekonomi yang diperoleh negara dan rakyat dari proses hilirisasi ini.

Dalam pandangan Said Didu, perdebatan ini menjadi menarik karena memperlihatkan bahwa fokus pada angka ekspor saja tidak memberikan gambaran yang utuh tentang dampak nyata hilirisasi terhadap perekonomian nasional. Terlepas dari perdebatan ini, ia berpendapat, penting bagi pemerintah untuk lebih transparan dalam menjelaskan bagaimana manfaat ekonomi yang diperoleh dari hilirisasi ini dialokasikan dan diapresiasi oleh masyarakat Indonesia.

Hilirisasi Untungkan China

Dalam wawancara tersebut, Said Didu mencermati pandangan yang menyatakan, kebijakan hilirisasi sebenarnya lebih menguntungkan China daripada Indonesia. Ia merinci pandangan Faisal Basri yang mengemukakan bahwa lebih dari 90% manfaat ekonomi dari proses hilirisasi nikel dinikmati oleh China. Said Didu mendukung pandangan ini dengan argumen-argumen yang lebih rinci.

Dalam penjelasannya, Said Didu mengaitkan konsep hilirisasi dengan realitas bahwa sebagian besar proses hilirisasi yang terjadi di Indonesia hanya mencapai tahap setengah jadi, yaitu menghasilkan bahan setengah jadi yang kemudian diekspor. Ia menjelaskan, dalam proses ini, China, sebagai negara yang mampu memproses bahan setengah jadi menjadi produk akhir, mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada Indonesia.

Said Didu menekankan bahwa ketika bahan setengah jadi ini diekspor ke China, sebagian besar manfaat ekonomi yang dihasilkan dari proses hilirisasi ini sebenarnya dinikmati China karena mereka memiliki teknologi dan fasilitas untuk mengubahnya menjadi produk akhir dengan nilai tambah lebih tinggi.

Dengan demikian, pandangan Said Didu menguatkan argumen Faisal Basri bahwa meskipun Indonesia mencatat angka ekspor yang besar dari proses hilirisasi, faktanya sebagian besar manfaat ekonomi justru mengalir ke China. Dia berpendapat, istilah yang digunakan oleh Presiden, seperti angka ekspor yang tinggi, hanya menjadi alat citra positif tanpa menggambarkan porsi manfaat yang sebenarnya masuk ke Indonesia.

Pandangan ini menunjukkan bahwa dalam konteks hilirisasi, sangat penting untuk mempertimbangkan bukan hanya angka ekspor semata, tetapi juga sejauh mana negara dan rakyat mendapatkan manfaat nyata dari proses ini. Di samping itu, perlu adanya transparansi dalam menjelaskan bagaimana alokasi manfaat ekonomi yang dihasilkan dari hilirisasi ini diarahkan ke berbagai sektor di dalam negeri.

Ketidakjelasan Peningkatan Pajak dan Ekspor

Said Didu membahas ketidakjelasan yang terkait dengan peningkatan pajak dan ekspor yang disampaikan dalam debat mengenai hilirisasi. Ia mencatat, meskipun Presiden menyebut adanya peningkatan ekspor sebesar Rp510 triliun, tidak dijelaskan secara rinci sumber pendapatan pajak tersebut dan bagaimana alokasinya. Dengan demikian, ia mengkritik pemerintah hanya fokus pada angka-angka tanpa mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih mendalam.

Said Didu mengungkapkan, peningkatan pajak yang diutarakan dalam debat tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai asal-usul pendapatan tersebut. Ia menunjukkan, angka peningkatan pajak hanya sekitar 10 kali lipat sejak 2018, sedangkan angka ekspor naik 30 kali lipat. Ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa besar manfaat yang diperoleh oleh Indonesia dan seberapa besar manfaat yang dinikmati oleh China dari peningkatan ekspor tersebut.

Lebih lanjut, Said Didu menyatakan, perubahan dalam volume atau tonase yang diolah mungkin menjadi faktor yang memengaruhi kenaikan pajak tersebut. Namun, ia menyoroti bahwa yang penting adalah bagaimana pendapatan dari pajak ini digunakan untuk mendukung perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat.

Dalam pandangan Said Didu, fokus pada peningkatan ekspor dan peningkatan pajak tanpa menjelaskan sumber pendapatan yang jelas dan alokasi manfaat yang sesuai menjadi masalah. Hal ini menunjukkan seolah-olah hanya angka yang diutamakan, tanpa memberikan gambaran tentang manfaat nyata yang diperoleh negara dan rakyat.

Pemahaman ini menegaskan bahwa dalam memahami dampak kebijakan ekonomi seperti hilirisasi, penting bagi pemerintah untuk memberikan transparansi mengenai angka-angka tersebut dan bagaimana mereka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

Pemilik Tambang dan Royalti

Said Didu juga mengangkat isu mengenai pemilik tambang dan pembayaran royalti dalam konteks kebijakan hilirisasi. Ia membahas bagaimana pemilik tambang dan sistem royalti berpengaruh terhadap manfaat yang diperoleh negara dan masyarakat, serta menyoroti peran penting pemilik tambang sebagai penggerak utama dalam pembayaran royalti.

Dia menjelaskan, pemilik tambang, terutama pemilik tambang nikel, membayar royalti dan pajak kepada negara. Namun, ia menyatakan, kenyataannya, pemilik tambang bukanlah milik negara atau entitas yang sepenuhnya berbasis nasional. Beberapa pemilik tambang adalah perusahaan asing atau individu pengusaha nasional. Dalam hal ini, ia mengungkapkan, hal ini dapat menimbulkan kompleksitas dalam mengalokasikan manfaat ekonomi yang dihasilkan dari proses hilirisasi.

Selanjutnya, dia menyoroti royalti dihitung berdasarkan harga jual or kepada smelter atau ekspor. Dia menjelaskan, dalam hal ini, terdapat ketidaksetaraan dalam harga or dunia dan harga or dalam negeri yang digunakan sebagai dasar perhitungan royalti. Sebagai contoh, harga or dunia mungkin lebih tinggi daripada harga or dalam negeri, yang berarti pendapatan yang dihasilkan dari royalti bisa berkurang jika or diekspor dengan harga lebih rendah.

Lebih lanjut, dia membahas, dalam kasus nikel, harga or dunia dapat mencapai US$80 dolar, tetapi dijual ke smelter China dengan harga yang lebih rendah, yaitu sekitar US$35 dolar. Hal ini menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan, mengingat perbedaan harga yang signifikan.

Pemahaman ini menggambarkan kompleksitas sistem royalti dan pemilik tambang dalam konteks hilirisasi. Said Didu mengindikasikan bahwa ada kebutuhan untuk meninjau kembali kebijakan royalti dan pemilikan tambang agar dapat mendukung penerimaan negara dan manfaat ekonomi yang lebih baik, serta memastikan adanya transparansi dalam pembayaran royalti dan pendapatan tambang kepada negara.

Kebingungan Mengenai Ekspor dan Pendapatan Negara

Membahas ketidakjelasan yang muncul sehubungan dengan ekspor dan pendapatan negara yang terkait dengan kebijakan hilirisasi. Ia mencatat, fokus pada angka-angka ekspor seringkali mengaburkan pandangan yang lebih mendalam mengenai sejauh mana negara dan rakyat Indonesia mendapatkan manfaat ekonomi dari proses tersebut.

Dia mengungkapkan, penekanan pada angka ekspor yang tinggi, seperti angka Rp510 triliun, tidak diikuti oleh penjelasan yang memadai tentang seberapa besar manfaat yang sebenarnya dinikmati oleh Indonesia. Ia merasa pemerintah seringkali hanya menunjukkan angka-angka ini tanpa menjelaskan bagaimana ekspor tersebut memberikan dampak nyata pada pertumbuhan ekonomi, penerimaan negara, dan kesejahteraan rakyat.

Dia pun menyatakan, hanya fokus pada angka ekspor tidak cukup untuk mengukur kesuksesan suatu kebijakan ekonomi seperti hilirisasi. Ia mempertanyakan apakah ekspor tersebut benar-benar menguntungkan Indonesia atau justru lebih menguntungkan pihak asing, seperti dalam kasus China yang mendapatkan banyak manfaat dari ekspor hasil hilirisasi.

Selain itu, Said Didu menyuarakan keprihatinannya terhadap kurangnya penjelasan mengenai bagaimana pendapatan dari ekspor tersebut dialokasikan ke negara dan berbagai sektor yang membutuhkan. Ia berpendapat, tanpa transparansi mengenai alokasi pendapatan ini, sulit untuk mengukur dampak nyata dari ekspor terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat.

Pemahaman ini menegaskan bahwa dalam konteks hilirisasi, pemerintah perlu memberikan gambaran yang lebih jelas dan komprehensif tentang bagaimana ekspor menguntungkan negara dan bagaimana manfaat ekonomi dari ekspor tersebut disalurkan kepada berbagai sektor masyarakat. Transparansi ini akan membantu menghilangkan ketidakjelasan dan memastikan kebijakan ekonomi benar-benar berdampak positif pada perekonomian dan masyarakat Indonesia.

Ekspor sebagai Barang China, Bukan Indonesia

Said Didu mengemukakan pandangannya mengenai karakteristik sebenarnya dari ekspor hasil hilirisasi, terutama dalam konteks ekspor nikel. Ia menyatakan, hasil ekspor dari pabrik-pabrik tersebut seharusnya dilihat sebagai ekspor barang buatan China, bukan sebagai ekspor barang Indonesia.

Menurutnya, konsep hilirisasi yang diimplementasikan seringkali menghasilkan produk setengah jadi yang masih memerlukan proses pengolahan lebih lanjut. Hasil ekspor ini kemudian diolah lebih lanjut di China menjadi produk akhir dengan nilai tambah lebih tinggi. Oleh karena itu, saat barang setengah jadi ini diekspor, mereka sebenarnya menjadi ekspor barang buatan China karena manfaat ekonomi dari pengolahan dan pembuatan produk akhir sebagian besar diperoleh oleh China.

Dia menyoroti, sebelum tahap pemrosesan di China, bahan baku tersebut dimiliki oleh Indonesia. Namun, setelah diekspor dan diolah di China, hasil ekspor tersebut menjadi barang buatan China, bukan lagi barang Indonesia. Ia menekankan pentingnya memahami perbedaan antara ekspor barang hasil pengolahan Indonesia dan ekspor barang buatan China, agar tidak terjebak dalam pandangan yang menyatakan bahwa ekspor nikel dan produk sejenisnya menguntungkan Indonesia.

Dengan memahami hasil ekspor setengah jadi sebenarnya berubah menjadi produk akhir buatan China, pandangan Said Didu menggarisbawahi bahwa ekspor ini seharusnya dilihat sebagai ekspor barang buatan China dan bukan sebagai ekspor barang Indonesia. Dalam konteks hilirisasi, hal ini menegaskan perlunya peninjauan kembali terhadap strategi hilirisasi yang lebih menguntungkan Indonesia secara substansial dalam hal pendapatan dan nilai tambah.

Kebijakan untuk Keuntungan China

Said Didu menyampaikan pandangannya terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang dapat diartikan sebagai menguntungkan China, terutama dalam konteks hilirisasi. Ia mengungkapkan kekhawatirannya tentang bagaimana beberapa kebijakan yang diterapkan tampaknya lebih menguntungkan China daripada Indonesia.

Dengan mengacu pada perubahan peraturan-peraturan yang terjadi dalam rangka mendukung hilirisasi dan ekspor produk setengah jadi, ia mengamati beberapa perubahan dalam regulasi, seperti peraturan ketenagakerjaan dan perpajakan, tampaknya menguntungkan China dengan memberikan fasilitas dan keringanan pajak yang lebih besar kepada mereka.

Contohnya adalah perubahan dalam peraturan ketenagakerjaan yang memberikan fasilitas pajak kepada perusahaan yang berinvestasi di Indonesia. Said Didu mengamati perubahan ini memberikan kemudahan bagi perusahaan asing, termasuk China, untuk beroperasi dengan keuntungan yang lebih besar. Hal ini bisa diartikan sebagai upaya untuk menarik investasi asing, tetapi dalam beberapa kasus, mungkin berdampak pada pengabaian hak-hak buruh dan pengurangan pendapatan negara dari pajak.

Selain itu, dia juga menyoroti bagaimana beberapa peraturan berpotensi mempermudah proses ekspor hasil hilirisasi ke China, yang pada akhirnya dapat menguntungkan China daripada Indonesia. Dia memberikan contoh bagaimana pengaturan mengenai smelter diubah untuk mendukung ekspor bahan setengah jadi, yang berarti manfaat ekonomi lebih besar diperoleh China saat mereka mengolah bahan tersebut menjadi produk akhir.

Dalam pemahamannya, pandangan Said Didu menggambarkan adanya kebutuhan untuk mempertimbangkan dengan cermat dampak dan implikasi dari setiap kebijakan yang diambil, terutama yang berhubungan dengan hilirisasi. Ia mendorong pemerintah untuk lebih berfokus pada keuntungan yang diperoleh Indonesia dan rakyatnya daripada keuntungan pihak luar, serta memastikan adanya transparansi dalam perubahan peraturan yang mungkin dapat memberikan keuntungan yang signifikan kepada negara lain.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: