- Home
- /
- Government
- /
- Government
Kemen-PPPA Dorong Pihak Kepolisian Usut Tuntas Kasus Kekerasan Seksual Anak di Buleleng
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) mendorong aparat penegak hukum (APH) dapat mengusut tuntas kasus kekerasan seksual pada anak (7) yang terjadi di Kabupaten Buleleng, Bali. Para pelaku yang terdiri dari 3 orang saat ini telah ditahan dan ditetapkan tersangka oleh Polres Buleleng dapat dijerat hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Kami turut prihatin terhadap anak korban yang mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. Hasil koordinasi Tim Layanan SAPA129 Kemen-PPPA dengan P2TP2A Kabupaten Buleleng bahwa pelaku kesatu dan kedua merupakan kakek korban, sedangkan pelaku ketiga merupakan tetangga. Ketiga pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka saat ini oleh pihak Polres Buleleng," ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen-PPPA, Nahar, dalam keterangannya, Kamis (31/8/2023).
Baca Juga: Kematian Pelajar Kelas 5 di Bima, Kemen-PPPA Tegaskan Praktik Joki Cilik Harus Dihentikan
Kasus ini terdeteksi awal dari indikasi penyakit kelamin yang dialami korban. Korban kemudian dibawa ke bidan setempat dan mendapat rujukan untuk melakukan visum di Rumah Sakit. Hasil visum forensik membuat orang tua melaporkan temuan tersebut ke unit PPA Polres Buleleng. Dari hasil pemeriksaan dan penyelidikan awal dengan sejumlah saksi, korban diduga disetubuhi sebanyak 5 kali di salah satu desa dan dua terduga pelaku lainnya melakukan persetubuhan dan pencabulan di dua tempat dan kejadian berbeda.
"Untuk kondisi terkini dari anak korban, secara fisik ada indikasi penyakit kelamin. Kondisi psikis korban dari asesmen awal diduga korban ada gangguan perilaku pascakejadian. Sampai saat ini korban masih dalam proses pendampingan P2TP2A Kab. Buleleng untuk memastikan kondisi psikisnya. Kemen-PPPA akan terus mengawal kasus ini," tambah Nahar.
Kemen-PPPA bersama P2TP2A Kab. Buleleng akan terus memastikan korban mendapat layanan yang sesuai dan yang dibutuhkan. Salah satunya adalah layanan pendampingan hukum dari P2TP2A Kab. Buleleng bagi korban.
"P2TP2A Kab. Buleleng telah memberikan layanan pendampingan konseling dan psikologis oleh psikolog dan mengupayakan penempatan sementara kepada korban. Kami mengapresiasi tindakan cepat dan sigap yang dilakukan P2TP2A Kab. Buleleng serta Polres Buleleng dalam merespons serta menangani kasus ini," jelas Nahar.
Kemen-PPPA berharap para pelaku apabila terbukti telah melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap korban yang melanggar pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dapat diancam pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sesuai pasal 81 Ayat (1) dan/atau Ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Terdapat ketimpangan relasi kuasa yang nyata antara para pelaku dan korban. Salah satu pelaku yang merupakan kakek dari korban memungkinkan korban tidak memiliki kuasa untuk melawan tindakan yang dilakukan oleh pelaku terutama jika dilakukan di bawah ancaman atau bujuk rayu. Selain itu, kami menduga anak berada dalam kondisi lingkungan yang rentan di mana lingkungan tersebut minim pengawasan," tutur Nahar.
Apabila salah satu pelaku yang merupakan kakek korban terbukti melakukan tindak pidana persetubuhan dapat ditambah 1/3 (sepertiga) karena mempunyai hubungan keluarga sesuai pasal 81 Ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya, karena kejadian tersebut apabila anak korban mengalami penyakit menular, pelaku dapat diancam pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun sesuai dalam pasal 81 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dua di antara 3 pelaku yang melakukan persetubuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik sesuai dalam pasal 81 ayat (7) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Baca Juga: Dorong Implementasi UU TPKS, Kemen-PPPA Tingkatkan Koordinasi Aparat Penegak Hukum
Sementara, pelaku yang melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak korban yang melanggar pasal 76E UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sesuai pasal 82 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan dapat apabila pelaku juga masih termasuk kerabat dekat korban, sesuai pasal 82 ayat (2) dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidananya. Selain dikenai pidana yang dimaksud, para pelaku juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Nahar menambahkan, dibutuhkan asesmen lanjutan terhadap kondisi lingkungan sekitar korban untuk nantinya dapat dilakukan upaya sosialisasi pencegahan agar kejadian serupa dan potensi-potensi perilaku beresiko di lingkungan masyarakat dapat dideteksi dini serta mendapat pengawasan bersifat komprehensif.
"Seluruh pihak harus bersama-sama memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak-anak yang ada di lingkungannya. Kami berharap korban dan keluarganya tidak mendapat stigma dari masyarakat. Kepada keluarga kami juga berharap dapat memberikan dukungan sosial terhadap korban selama proses pemulihan agar korban dapat kembali menjalani aktivitasnya," terang Nahar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rena Laila Wuri
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Advertisement