Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hiruk Pikuk Rencana Penghapusan Pertalite

Hiruk Pikuk Rencana Penghapusan Pertalite Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Krisis iklim yang semakin mendalam, polusi udara yang merusak kesehatan manusia, dan keterbatasan sumber daya alam konvensional telah mendorong dunia untuk mencari solusi yang lebih berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan energi.

Salah satu langkah terpenting yang diambil oleh berbagai negara, industri, dan masyarakat adalah peralihan dari sumber energi konvensional yang berbasis bahan bakar fosil menuju energi yang lebih ramah lingkungan.

Di Indonesia sendiri, PT Pertamina (Persero), sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyediakan hampir seluruh kebutuhan akan bahan bakar kepada masyarakat Indonesia, terus berupaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar tidak terbarukan dan beralih ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.

Baca Juga: Pertamina: Perubahan Pertalite Jadi Pertamax Green 92 Masih Usulan, Belum Diputuskan

Salah satu bentuk upaya Pertamina tersebut adalah rencana untuk menghapuskan bahan bakar mesin (BBM) Pertalite dan menggantikannya dengan jenis Pertamax Green 92, yang diklaim lebih ramah lingkungan. Penghapusan BBM tersebut dikabarkan akan mulai direalisasikan tahun 2024.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan bahwa penghapusan Pertalite dengan nilai oktan 90 ini sejalan dengan ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang menetapkan RON 91 sebagai produk BBM terendah yang bisa dijual di Indonesia.

"BBM subsidi kita naikkan dari RON 90 jadi RON 92 karena aturan KLHK, octane number yang boleh dijual di Indonesia minimum 91," ujar Nicke di depan Komisi VII DPR RI, Rabu (30/8/2023).

Ia melanjutkan, rencana tersebut merupakan lanjutan tahap dua dari program Langit Biru yang dimiliki oleh KLHK. Untuk diketahui, Langit Biru adalah suatu program pengendalian pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak dan sumber tidak bergerak.

"Ini sesuai dengan program Langit Birut tahap dua. Jadi ada dua green gasoline, green energy, low carbon yang jadi produk Pertamina," imbuh Nicke.

Sebelumnya, diketahui bahwa tahap satu dari program Langit Biru telah dilaksanakan oleh Pertamina, di mana saat itu ada transisi dari BBM Premium (RON 88) ke Pertalite (RON 90). RON atau Research Octane Number merupakan angka yang digunakan untuk mengukur ketahanan bahan bakar terhadap knocking atau ketukan yang terjadi dalam mesin pembakaran dalam. Semakin tinggi angka RON, maka emisi yang dihasilkan akan semakin sedikit.

Mengapa Pertalite Dihapuskan? 

Unsur ramah lingkungan merupakan faktor utama yang membuat Pertamina ingin menghapus Pertalite. Sebelum mengumumkan akan menyudahi penyediaan Pertalite sebagai BBM, Pertamina lebih dulu telah melakukan pengujian pencampuran Pertalite dengan etanol 7%, yang akan menghasilkan Pertamax Green dengan RON 92. Kajian internal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan BBM yang lebih bersih dan bisa menurunkan emisi atau gas buang kotor.

Nicke melanjutkan, dengan angka oktan yang lebih tinggi, yakni 92, akan memberikan dampak yang baik bagi lingkungan maupun bagi mesin kendaraannya. 

“Kami mengusulkan ini karena lebih baik, dengan octan number lebih baik, sehingga itu untuk mesin juga lebih baik, sekaligus emisinya juga menurun,” ujarnya. 

Selain itu, Nicke membeberkan bahwa penghapusan Pertalite ini bertujuan untuk mengurangi impor bensin (gasoline). Hal ini karena Pertamax Green 92 menggunakan campuran Pertalite dan etanol.

Diketahui bahwa etanol atau alkohol absolut berfungsi untuk meningkatkan oktan pada bahan bakar. Bahan baku etanol bisa berasal dari makanan kaya karbohidrat seperti tebu, singkong, jagung, dan ubi jalar. Sebelumnya, Pertalite (RON 90) merupakan campuran 50% bensin Premium (RON 88) dan 50% Pertamax (RON 92).

"Ini sudah sangat pas. Satu, aspek lingkungan bisa turunkan karbon emisi. Kedua, mandatory bioetanol bisa kita penuhi. Ketiga, kita menurunkan impor gasoline (bensin)," bebernya. 

Sebagaimana diketahui, tahun lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor hasil pengolahan minyak atau BBM mencapai 25,7 juta ton atau naik sekitar 17 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Keputusan Penghapusan Pertalite Masih Belum Bulat

Nicke menyebut bahwa kajian terkait penghapusan Pertalite tersebut masih hanya dilakukan oleh internal Pertamina saja. Sehingga, pemerintah pun belum mengetahui tentang isu tersebut.

Benar saja, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan ketidaktahuannya saat ditanyai mengenai isu penghapusan Pertalite ini. Jokowi mengungkapkan dirinya belum mendapatkan informasi terkait rencana PT Pertamina (Persero) untuk mengalihkan Pertalite dengan RON 90 menjadi RON 92.

“Belum, saya belum dapat informasi itu,” ujarnya kepada awak media usai membuka Rakernas HIPMI ke-XVIII di ICE BSD City, dikutip dari Bisnis.com, Jumat (1/9/2023). 

Kementerian Keuangan juga menyebutkan bahwa pihaknya belum melakukan pembahasan mengenai penghapusan Pertalite tersebut.

“Belum ada [pembahasan itu], Pertamax belum ada,” kata Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kemenkeu Wahyu Utomo, Rabu (30/8/2023).

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan BBM subsidi Pertalite tidak langsung hilang beredar di tahun depan.

"Belum, belum hilang," kata Arifin di Jakarta, Jumat (1/9/2023).

Perlu Belajar dari Masa Lalu

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga menilai bahwa penghapusan Pertalite dan penggantian dengan Pertamax Green 92 akan meningkatkan pengeluaran subsidi. 

Terutama, peralihan subsidi ini serupa dengan kebijakan sebelumnya dari Premium ke Pertalite. Oleh karena itu, ia berharap ada penilaian menyeluruh yang dilakukan sebelum kebijakan ini diimplementasikan. Sehingga, penghapusan Pertalite ini nantinya tidak akan menambah beban negara. 

“Jangan terkesan mengulang skema penghapusan Premium menjadi Pertalite yang akhirnya juga menambah beban subsidi negara karena nilai ekonominya lebih besar,” ujar Daymas melalui keterangan tertulis dikutip pada Jumat (1/9/2023).

Seperti yang sudah diketahui, berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi Rp185,9 triliun atau naik 0,2 persen dari proyeksi realisasi tahun ini sebesar Rp185,4 triliun.

Khusus subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT), pemerintah mengalokasikan anggaran Rp25,7 triliun atau meningkat sekitar 10,3 persen dari outlook realisasi tahun ini, Rp23,3 triliun.

Daymas menambahkan, jika kebijakan hapus Pertalite dilakukan untuk mengurangi emisi yang saat ini mengkhawatirkan, maka perlu dilakukan pendataan yang jelas terkait seberapa besar polusi bisa berkurang dengan peralihan tersebut.

“Perlu adanya matriks-matriks berupa pendataan yang jelas terkait berapa jumlah emisi yang dihasilkan oleh semua sektor, baik itu energi, industri, transportasi ataupun sektor-sektor yang berpotensi menghasilkan emisi lainnya,” jelasnya.

Bagaimana Dampaknya pada Masyarakat?

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan penghapusan Pertalite akan berdampak pada inflasi dan menggerus daya beli masyarakat. Mengingat, saat ini Pertalite menjadi bahan bakar mayoritas yang digunakan oleh masyarakat Indonesia. 

"Kalau Pertalite juga dihapuskan akan mempunyai dampak terhadap inflasi, yang akan menggerus daya beli masyarakat. Pasalnya, sebagian besar konsumen sudah migrasi dari Premium ke Pertalite, sehingga konsumen Pertalite saat yang terbesar," ujarnya dikutip dari Detikcom, Jumat (1/9/2023). 

Rencana penghapusan Pertalite ini tentu saja menjadi pembicaraan di masyarakat. Masyarakat bertanya-tanya apakah dengan dihapuskannya Pertalite dan digantikan dengan Pertamax Green 92 akan memengaruhi harga yang harus mereka keluarkan untuk memenuhi kebutuhan BBM mereka.

Menjawab pertanyaan tersebut, Dirut Pertamina menyampaikan Pertamax Green 92 nantinya akan masuk dalam barang subsidi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) menggantikan Pertalite. Sehingga, harganya akan diatur oleh pemerintah, di luar fluktuasi harga minyak mentah dunia.

"Pertamax Green 92 harganya pun tentu ini adalah regulated. Tidak mungkin yang namanya JBKP harganya diserahkan ke pasar karena ada mekanisme subsidi atau kompensasi di dalamnya," tegas Nicke.

Baca Juga: BPH Migas Resmikan 29 Penyalur BBM Satu Harga, Jangkau Masyarakat di Wilayah 3T

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: