Hadapi Perubahan Iklim, Arsjad Rasjid Tekankan Pentingnya Zero Net Emission di ASEAN
Negara-negara ASEAN menyoroti komitmen dan tindakan bisnis untuk mencapai net zero di kawasan Asia Tenggara dalam gelaran ASEAN Climate Forum di Hotel Sultan, Jakarta.
ASEAN Climate Forum diselenggarakan sebagai bagian dari acara KTT Bisnis & Investasi ASEAN 2023 atau ASEAN Business & Investment Summit (ABIS) 2023.
Baca Juga: Pimpin AECC ke-23, Menko Airlangga: ASEAN Harus jadi Mesin Pertumbuhan Global
Ketua ASEAN-BAC, Arsjad Rasjid, mengatakan ASEAN Climate Forum tak hanya menyoroti emisi net zero, tetapi juga pentingnya meningkatkan pasar karbon, dan peran keuangan berkelanjutan untuk mencapai netralitas karbon di kawasan Asia tenggara.
"Asia Tenggara merupakan kawasan yang penuh potensi, namun sangat rentan terhadap perubahan iklim. Hal ini membutuhkan komitmen bersama ASEAN untuk mencapai net zero carbon di kawasan ini," kata Arsjad Rasjid, dalam ASEAN Climate Forum, dikutip Senin (4/9/2023).
Arsjad menuturkan, transisi menuju net-zero di semua sektor dapat mendukung negara-negara ASEAN menjadi berketahanan iklim dan mempercepat pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19.
Negara-negara ASEAN kaya akan keanekaragaman hayati, hutan, dan sumber energi terbarukan. Hal ini berpotensi untuk menarik investasi dalam sektor-sektor ini, sehingga menghasilkan sejumlah besar upaya mitigasi iklim yang dapat diserap di global
Arsjad mendorong hal ini diperhitungkan dalam memenuhi target iklim setiap negara ASEAN berdasarkan Perjanjian Paris. Pasalnya, meskipun Asia Tenggara telah mengambil langkah-langkah untuk beralih menuju perjalanan net zero, negara-negara ini masih membutuhkan investasi sebesar US$2 triliun dalam dekade ini.
"Potensi luar biasa yang dimiliki negara-negara ASEAN dalam melakukan mitigasi perubahan iklim menjadikan kita berada dalam posisi yang tepat untuk mendapatkan manfaat dari pertumbuhan pasar karbon, yang semakin berperan penting dalam mencapai net zero," ujar Arsjad.
Dia memaparkan, Indonesia setidaknya menyumbang 56% dari seluruh penerbitan offset di ASEAN, diikuti oleh Kamboja dengan 26% dari seluruh penerbitan. Hal ini, menunjukkan terdapat peluang nyata bagi ASEAN untuk menjadi pusat perdagangan global untuk kredit karbon berintegritas tinggi.
"Tentunya, hal ini harus didorong melalui tindakan nyata pada kebijakan pemerintah negara-negara ASEAN yang harus diterapkan pada tingkat lokal, regional, bahkan internasional," tutur Arsjad.
Baca Juga: Jawara Pembiayaan Hijau, Bank Mandiri Dukung ASEAN-Indo-Pacific Forum (AIPF)
Lebih lanjut, terkait keuangan berkelanjutan, Arsjad menilai forum ini dapat mendukung ASEAN dalam mencapai net zero karena jika tidak ada tindakan yang diambil, negara-negara ASEAN dapat kehilangan 37,4% PDB saat ini pada tahun 2048.
Diakuinya, keuangan berkelanjutan di ASEAN telah mengalami ekspansi yang luas, pasar utang dan ekuitas berkelanjutan masih kecil dan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perekonomian ASEAN untuk tujuan keberlanjutannya.
Pada tahun 2016, jumlah total utang berkelanjutan tercatat sebesar US$ 0,25 miliar dan meningkat menjadi US$6,75 miliar pada tahun 2021. Hal ini, menjadikan jumlah total utang berkelanjutan menjadi sekitar US$ 24 miliar - potensi pertumbuhan lebih lanjut dari keuangan berkelanjutan sebagian besar belum dimanfaatkan.
Baca Juga: Antusias, Warga Sambut Antusias Gelaran KTT ASEAN di Jakarta
Arsjad menjelaskan, sektor keuangan merupakan salah satu sektor yang dapat memainkan peran penting dalam mendukung negara-negara ASEAN dalam perjalanannya menuju net zero. Lembaga-lembaga keuangan harus segera beradaptasi karena pertimbangan iklim harus menjadi arus utama dan menjadi inti proses pengambilan keputusan.
Perubahan iklim harus menjadi prioritas dan fokus utama lembaga keuangan dalam mengidentifikasi, mitigasi, dan mengatasi risiko lingkungan dan sosial yang material di pasar, wilayah geografis, dan komunitas mereka.
Sementara itu, Vice Chairman ASEAN and President Commissioner Indonesia Standard Chartered, Rino Donosepoetro, mengatakan salah satu tantangan bagi ASEAN dalam menghadapi perubahan iklim adalah kebutuhan dana yang sangat besar.
ASEAN memiliki banyak potensi untuk melakukan transisi energi, namun membutuhkan banyak dana untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan bahan bakar fosil. Hal ini, dapat diatasi melalui struktur kemitraan dan pembiayaan yang terukur.
"Saya menilai ASEAN Climate Forum merupakan kesempatan unik untuk bertukar praktik terbaik, berkolaborasi, dan berbagi jalan menuju pembangunan ASEAN yang berkelanjutan," ujar Rino.
Terkait dengan itu, dia mendorong pentingnya sektor keuangan mendukung aliran modal ke arah pembangunan berkelanjutan pada tahun 2023, dan pembiayaan berkelanjutan pada tahun 2025.
"Urgensinya (menghadapi perubahan iklim) nyata dan sekaranglah waktunya untuk bertindak," kata Rino.
Arsjad menambahkan, dalam menanggapi urgensi untuk bergerak menuju ketahanan dan keberlanjutan yang lebih baik, perusahaan semakin berupaya mengembangkan strategi dan solusi iklim untuk meningkatkan kinerja mereka di seluruh rantai nilai dan memastikan akses jangka panjang terhadap pendanaan.
Sebagai bagian dari respons ini, terdapat fokus yang signifikan pada aksi iklim, termasuk menetapkan target dan sasaran net zero.
Baca Juga: Indonesia Ciptakan Era Baru Tata Kelola Bisnis di ASEAN
“Setelah keberhasilan penyelenggaraan KTT G20 Bali dan KTT B20 Bali pada bulan November 2022, dan Keketuaan ASEAN pada tahun 2023, Indonesia dan ASEAN harus kembali menjadi sorotan global melalui ASEAN Climate Forum ini," tandas Arsjad.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Alfida Rizky Febrianna
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement