Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Luncurkan Peta Wilayah Secara Sepihak, China Klaim 90.000 KM Tanah Arunachal Pradesh

Luncurkan Peta Wilayah Secara Sepihak, China Klaim 90.000 KM Tanah Arunachal Pradesh Kredit Foto: Getty Images
Warta Ekonomi, Jakarta -

Langkah Beijing menetapkan sekaligus meluncurkan peta wilayah negaranya secara sepihak, menimbulkan kegaduhan dunia Internasional.

Peta yang disebut sebagai ‘peta populer’ Tiongkok ini, telah menarik perhatian masyarakat dunia khususnya pada klaim China yang tegas atas wilayah yang luas.

Tiongkok telah memasukkan lebih dari 90.000 kilometer persegi tanah di Arunachal Pradesh dan tambahan 30.000 kilometer persegi wilayah sengketa di Aksai Tiongkok, sehingga memperparah perselisihan yang sedang berlangsung.

Harian terkemuka berbahasa Inggris ‘The Global Times’, yang dikenal sebagai corong Partai Komunis China, melaporkan, Beijing telah meluncurkan peta tahun 2023, dan peta kontroversial ini dapat diakses di situs resmi Kementerian Sumber Daya Alam China.

Dibangun menggunakan metodologi kartografi Tiongkok, peta ini juga mengintegrasikan teknik pemetaan yang digunakan oleh negara-negara global lainnya. 

Merespons hal ini, Aliansi Mahasiswa Islam (AMI) meminta negara-negara dunia khususnya Indonesia, untuk segera mengajukan protes keras dan menolak klaim China, sekaligus membawa permasalahan ini ke mahkamah internasional.

Koordinator sekaligus peneliti AMI, Andi Setya Negara menyebut langkah klaim China atas tanah negara lain, dapat menimbulkan masalah global, salah satunya batas perairan internasional di laut China Selatan.

"Sangat berpotensi menambah pemicu konflik, karena masuknya Tiongkok ke Laut Cina Selatan, dimana Taiwan sebagai komponen integral negaranya,” kata Andi Setya Negara kepada Wartawan, Sabtu, (9/9/2023).

AMI memperingatkan pemerintah khususnya Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk senatiasa mewaspadai kondisi ini, mengingat China sebelumnya beberapa kali meng-klaim perairan Indonesia di Laut China Selatan, salah satunya di Natuna.

China bersikukuh mengklaim sekitar 90% dari lautan itu dalam apa yang disebut sebagai "sembilan garis putus-putus" di mana mencakup area seluas sekitar 3,5 juta kilometer persegi (1,4 juta mil persegi).

Klaim tersebut telah menimbulkan ketegangan dengan sejumlah negara ASEAN dan melibatkan AS Masuk dengan dalih "kebebasan navigasi".

“Klaim China di Lut China selatan sendiri kerap bersinggungan dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang dimiliki oleh Indonesia. Tercatat, beberapa kali kapal patroli China dilaporkan memasuki ZEE milik RI ini,” jelas Andi Setya Negara.

Setelah peta tersebut dirilis, lanjut Andi Setya Negara, Nepal langsung menyangkal keberadaan peta Chuchche, yang menggambarkan letal Lipulek, Kalapani, dan Limpiyadhura, meski Nepal belum secara resmi menyampaikan tanggapan diplomatik atau politik formal terhadap situasi ini.

AMI menilai wajar jika banyak negara dunia yang menyoroti kasus klaim wilayah yang dilakukan China khususunya dengan Nepal, mengingat masih kurangnya informasi komprehensif dari lembaga mana pun mengenai kondisi geografis perbatasan utara Nepal, yang kini dilirik Beijing.

Apalagi, Tiongkok juga baru-baru ini menolak keberadaan peta baru Nepal, dengan alasan Nepal gagal secara resmi menyediakan peta baru versi bahasa Inggris kepada mereka.

Demarkasi tahun 1961 menunjukkan bahwa perbatasan dengan Tiongkok sebagian besar dipisahkan oleh pegunungan dan gletser. Nepal, yang secara alami terbagi dari timur ke barat, memiliki 43 penyeberangan perbatasan dan pos pemeriksaan dengan Tiongkok.

Disposisi geografis yang kompleks ini, ditambah dengan perambahan yang diduga dilakukan China di sisi selatan, telah menutupi perdebatan mengenai sengketa perbatasan di sisi utara.

"Dari berita disejumlah media massa, muncul tuduhan Tiongkok telah merambah 36 hektar lahan di berbagai lokasi di Nepal, termasuk Sankhuwasabha, Rasuwa, Sindhupalchok, dan Humla. Sengketa perbatasan meluas hingga wilayah Tatapani Sindhupalchok,” jelas Andi Setya Negara.

Tiongkok semakin memperburuk situasi dengan secara sepihak membangun struktur bendungan beton di wilayah Dasgaja, sehingga menimbulkan konsekuensi yang signifikan.

Pengalihan sungai oleh Tiongkok ke Nepal telah mengakibatkan transformasi perkebunan Nepal menjadi lahan terlantar.

Sementara itu, pembangunan struktur beton yang dilakukan Tiongkok dengan tujuan mengubah aliran Sungai Bhotekoshi, tidak hanya berdampak pada permukiman di sepanjang wilayah perbatasan tetapi juga menyebabkan Nepal kehilangan lahan berhektar-hektar.

“Sayangnya, pihak berwenang Nepal sepertinya kurang menunjukkan minat untuk mengatasi permasalahan ini, ujar Andi Setya Negara.

“Meskipun demikian, Indonesia dan negara-negara lainnya harus mewaspadai aksi klaim sepihak Beijing, mengingat negara komunis ini sepertinya haus akan perluasan wilayah mereka,” pungkas Andi Setya Negara.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: