Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Melambat, BI Prediksi Ekonomi Global Hanya Tumbuh 2,8 Persen di 2024

Melambat, BI Prediksi Ekonomi Global Hanya Tumbuh 2,8 Persen di 2024 Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank Indonesia (BI) menilai perekonomian dunia melambat dengan ketidakpastian pasar keuangan yang mulai mereda. Untuk itu, bank sentral memprakirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 sebesar 3,0% dan melambat menjadi 2,8% pada 2024.

"Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan India tahun 2023 lebih baik dari prakiraan awal ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan ekspansi pemerintah. Sementara itu, ekonomi Tiongkok melemah seiring dengan konsumsi rumah tangga dan investasi yang tumbuh terbatas," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, baru-baru ini.

Lebih lanjut katanya, inflasi di negara maju, termasuk di AS, dalam kecenderungan menurun tetapi tingkatnya masih di atas sasaran. Suku bunga kebijakan moneter, termasuk Fed Funds Rate (FFR), diprakirakan  telah mencapai puncaknya namun masih akan bertahan tinggi dalam waktu yang lama (high for longer). Baca Juga: Perekonomian Indonesia Masih Tangguh Meski Dihadapkan oleh Perlambatan Ekonomi Global

"Demikian pula yield obligasi Pemerintah negara maju, termasuk US Treasury, diprakirakan dalam kecenderungan menurun tetapi tingkatnya masih akan tinggi sejalan dengan premi risiko jangka panjang (term-premia) terkait besarnya pembiayaan fiskal dan utang pemerintah. Kejelasan arah kebijakan moneter di negara maju tersebut mendorong mulai meredanya ketidakpastian pasar keuangan global," jelasnya.

Sehubungan dengan itu, aliran modal sejauh ini mulai kembali masuk dan menurunkan tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market, termasuk Indonesia.

"Ke depan, sejumlah risiko dapat kembali meningkatkan ketidakpastian perekonomian dunia, di antaranya masih berlanjutnya ketegangan geopolitik, pelemahan ekonomi di sejumlah negara termasuk Tiongkok, serta masih tingginya suku bunga kebijakan moneter dan yield obligasi di negara maju," paparnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Fajar Sulaiman

Advertisement

Bagikan Artikel: