- Home
- /
- Kabar Finansial
- /
- Bursa
Sektor Konsumer dan Perbankan Berpotensi Bersinar di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global

Ketidakpastian ekonomi global semakin meningkat akibat kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump serta langkah hati-hati The Federal Reserve (The Fed) dalam menentukan arah suku bunga. Namun, di tengah kondisi yang penuh gejolak ini, sektor konsumer dan perbankan di Indonesia justru diperkirakan memiliki potensi untuk bertahan dan tumbuh.
Samuel Kesuma, Chief Investment Officer - Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), menjelaskan bahwa volatilitas pasar saat ini banyak dipicu oleh kebijakan ekonomi Trump yang sering berubah-ubah.
“Pasar khawatir akan kebijakan-kebijakan Donald Trump yang bersifat inflationary, yang dijanjikan akan diimplementasikan segera dan serentak. Namun sejauh ini, banyak ‘day one promises’ tersebut berubah dan atau setidaknya akan diimplementasikan secara bertahap,” ujarnya, dikutip Kamis (13/3/2025).
Baca Juga: Pelaku Pasar Nantikan Pemangkasan BI Rate dan Soroti Kebijakan Pro Pasar dari Pemerintah
Ketidakpastian tersebut juga berdampak pada kebijakan moneter AS. Dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 9 Januari 2025, Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu perkembangan lebih lanjut sebelum memutuskan untuk menurunkan suku bunga. Sementara itu, inflasi AS masih menunjukkan tren penurunan, tetapi laju penurunannya yang belum stabil membuat The Fed harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Dinamika ini turut memengaruhi nilai tukar dolar AS yang diperkirakan masih akan tetap kuat dalam jangka pendek. Faktor-faktor seperti ekspektasi kebijakan lanjutan Trump, sikap hawkish The Fed, serta kemungkinan pemangkasan suku bunga yang lebih agresif oleh bank sentral negara maju lainnya membuat dolar AS tetap diminati.
Hal ini berimbas pada rupiah, yang kini berada di kisaran Rp16.000 per dolar AS. Meski demikian, Bank Indonesia terus melakukan intervensi melalui pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), serta pasar Surat Berharga Negara (SBN) guna menjaga stabilitas mata uang.
Di dalam negeri, perlambatan ekonomi menjadi perhatian utama. Data terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 hanya mencapai 5,03%, lebih rendah dibandingkan 2023 (5,05%) dan 2022 (5,31%). Lemahnya daya beli masyarakat menjadi salah satu faktor utama yang menekan perekonomian, tercermin dari rendahnya pertumbuhan penjualan ritel dan indeks keyakinan konsumen, terutama di segmen masyarakat berpenghasilan rendah.
Baca Juga: Investor Menarik Diri, Potensi Melemahnya Ekonomi Amerika Serikat Membebani Dolar AS
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pun merespons kondisi ini dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendukung daya beli masyarakat. Beberapa langkah yang telah diterapkan antara lain kenaikan upah minimum regional (UMR), pembatalan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta paket stimulus fiskal sebesar Rp38 triliun. Bank Indonesia juga mengejutkan pasar dengan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin ke level 5,75% pada Januari lalu. Meski kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan, efektivitasnya masih perlu dipantau dalam beberapa bulan ke depan.
Dalam kondisi ini, sektor konsumer diperkirakan menjadi salah satu sektor yang tetap memiliki prospek cerah. “Sektor konsumer memiliki kualitas bisnis dan volatilitas kinerja laba yang relatif baik serta memiliki risiko lebih rendah terhadap kemungkinan negative surprise ke depannya,” kata Samuel. Kebijakan pemerintah yang mendukung pemulihan daya beli juga diharapkan akan berdampak positif terhadap pertumbuhan sektor ini.
Selain itu, sektor perbankan juga menjadi sektor yang menarik bagi investor. Koreksi harga saham perbankan akibat aksi jual dari investor asing telah membuat valuasi saham perbankan menjadi lebih menarik. “Situasi likuiditas yang relatif ketat saat ini diperkirakan akan berangsur membaik ke depannya. Adapun tekanan jual dari pemegang saham asing kemungkinan besar akan berkurang atau bahkan berbalik arah jika The Fed mengambil kebijakan suku bunga yang lebih dovish di semester kedua nanti,” tambahnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement