Soroti Demokrasi di Indonesia Pasca 98, Refly Harun Singgung Aktivis yang Ditangkap di Era Jokowi
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyinggung sejumlah aktivis dan tokoh yang ditangkap di era Jokowi karena bersikap kritis atau ditangkap dengan alasan yang menurutnya tak jelas.
Hal ini Refly sampaikan di Konferensi Pers Spektrum Oposisi Terpimpin (SPOT) yang mana berisi sejumlah aktivis pada Senin (4/3/24) di Jakarta.
Refly mengungkapkan demikian karena menurutnya Demokrasi di Indonesia tak berkembang secara substantif di Era Jokowi khususnya periode kedua.
“Setelah 98 terjadi reformasi kita kok bukannya tambah demokrasi berkembang secara substantif tetapi kok represif,” ujar Refly.
“Terutama ada era kedua Jokowi. Indikatornya banyak salah satunya adalah semakin banyak aktivis ditangkap dilaporkan kemudian dipenjarakan itu hanya karena berbeda pendapat... Betapa banyak aktivis di era kedua Jokowi yang dipenjarakan dengan UU itu, bayangkan orang tulis saja orang cuit saja kok bisa ditangkap,” jelasnya.
Baca Juga: Keluh Kesah Warganet ke Anies Baswedan Soal Banjir di Jakarta: 'Abah, Kenapa Jakarta Banjir Lagi?'
Beberapa nama mulai dari Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, hingga Habib Rizieq Shihab, Refly sebut sebagai contoh aktivis atau tokoh yang ditangkap di era Jokowi dengan berbagai alasan.
Menurut Refly, ditangkapnya tokoh-tokoh tersebut menunjukkan apa yang ia sebut sebagai “Kehororan” dalam bernegara.
“Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana. Ada yang bilang baik-baik saja ditangkap juga (kasus swab Covid) Habib Rizieq karena dianggap menyebarkan kebohongan publik, yang kritik KM 50 ditangkap juga itu namanya Habib Bahar, mau pimpin demo lalu dapat panggilan dari Polda Banten itu namanya Eggi Sudjana, jadi kita bisa bayangkan betapa horornya negara ini kok mudah sekali orang ditangkap,” tambahnya.
Baca Juga: Bantah Jokowi yang Bilang Harga Beras Turun, PKS: Iya Turun, Tapi Saat Bulog Gelar Operasi
Soal Pemilu 2024, Refly mengungkapkan hipotesisnya yang mana menurutnya hasil Pemilu 2024 khususnya Pilpres telah ditentukan jauh-jauh hari sebelum 14 Februari hari pencoblosan.
Refly mengungkapkan demikian menyinggung beberapa peristiwa yang jauh-jauh hari telah terjadi yang menurutnya mengarah ke dugaan kecurangan pemilu.
“Apa pun hasilnya, ini hipotesis analisis saya, apa pun yang Anda coblos pada 14 Februari maka analisis saya hasil pemilu sudah ditentukan. Kalau kita bicara hasil pemilu terlalu naif apabila kita menghitung dari tanggal 14 saja, 14 itu pencoblosan,” jelasnya.
“Kalau kita bicara kecurangan pemilu itu jauh sebelumnya, bisa kita tarik keinginan 3 periode, perpanjangan masa jabatan, penundaan jadwal pemliu, sampai karena akhirnya ditolak terus oleh partai terbesar maka upaya yang paling maksimal menitipkan putra mahkota lewat putusan sang paman di MK,” tambahnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bayu Muhardianto
Editor: Bayu Muhardianto
Tag Terkait:
Advertisement