Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

OIKN Mau Membongkar 200 Bangunan Warga, Amnesty International: 'Katanya Bangun IKN Tanpa Penggusuran?'

OIKN Mau Membongkar 200 Bangunan Warga, Amnesty International: 'Katanya Bangun IKN Tanpa Penggusuran?' Foto udara proses pembangunan di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Sabtu (25/2/2023). Pembangunan KIPP IKN Nusantara mulai masif dikerjakan diantaranya pembangunan istana presiden, kantor presiden, kantor sekretariat presiden, dan kantor kementerian koordinator. | Kredit Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional beberapa waktu lalu pernah berjanji tidak akan menggusur warga dan masyarakat adat di wilayah IKN.

Menurutnya, pemerintah berjanji pengelolaan IKN akan memperhatikan hak atas tanah kelompok masyarakat adat.

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Otorita IKN Bambang Susantono menegaskan tidak akan menggusur semena-mena dalam rangka pembangunan IKN.

Akan tetapi, beredar surat dari Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) kepada 200 warga di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, agar membongkar bangunan mereka di lokasi pembangunan IKN.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan hak-hak warga harus dilindungi dan negara harus memastikan bahwa mereka tidak lagi menjadi korban.

"Surat dari OIKN tak hanya melecehkan hak masyarakat Sepaku, termasuk hak warga adat suku Balik yang bermukim di sana, tapi juga membuat mereka terancam kehilangan tempat tinggal. Langkah ini melanggar hak konstitusional warga dan hak atas tanah masyarakat adat yang diakui secara internasional," kata Usman.

"Ke mana perginya janji pemerintah untuk membangun IKN tanpa penggusuran?," kata Usman.

Ia menilai Surat dari OIKN ini menandakan sempitnya ruang partisipasi masyarakat Sepaku dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan dan tempat tinggal mereka.

"Memaksa mereka untuk meninggalkan tanah leluhur atau tanah yang sudah sejak lama didiami, memperlihatkan tindakan yang melanggar prinsip keadilan sosial dan absennya konsultasi," tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: