Pemerintah mencatat realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) senilai Rp213,48 triliun hingga akhir 2023, menurun 2,35% year-on-year dibandingkan dengan periode sebelumnya. Berdasarkan data dari laporan APBN KiTa edisi Januari 2024, penurunan realisasi penerimaan CHT ini disebabkan oleh penurunan produksi hasil tembakau sebesar 1,8% hingga Oktober 2023.
Di sisi lain, penurunan penerimaan ini diikuti dengan meningkatnya konsumsi rokok murah di pasaran atau yang disebut dengan downtrading. Kedua persoalan ini menunjukan bahwa kebijakan CHT tidak efektif dalam fungsi penerimaan negara maupun pengendalian konsumsi. Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan CHT ke depannya.
Ekonom Universitas Indonesia, Vid Adrison, menilai penurunan produksi pada golongan I terjadi karena turunnya permintaan pasar di golongan I sehingga memicu terjadinya perpindahan konsumsi ke rokok murah. “Downtrading artinya ada kenaikan (produksi) di golongan bawah, yakni di golongan II,” terangnya.
Vid menambahkan fenomena ini merupakan dampak dari struktur cukai yang berlapis sehingga terjadi kesenjangan harga yang lebar antar produk rokok di pasaran. "Artinya, mereka memiliki kesempatan untuk menjual rokok lebih murah dibandingkan di golongan I. Ini yang mengakibatkan orang pindah dari golongan I ke golongan II," katanya.
Vid juga menyatakan selama rokok dikenakan cukai yang berbeda-beda, maka masyarakat bebas untuk mengonsumsi produk dengan harga yang lebih rendah. "Coba seandainya ada merek A harga Rp30.000, merek B harga Rp20.000 dengan rasa tidak jauh beda, kira-kira pilih yang mana? Teman-teman saya banyak yang dulunya mengonsumsi rokok golongan I pindah ke golongan II," ujarnya.
Baca Juga: Cegah Diabetes dan Obesitas, Kemenkes Dorong Hadirnya Cukai MBDK
Di kesempatan terpisah, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkana, juga menyoroti fenomena peralihan konsumsi yang terjadi dipengaruhi oleh struktur tarif cukai yang kompleks dan adanya jarak tarif yang lebar antar golongan rokok. "Downtrading ini disebabkan tidak meratanya kenaikan cukai antar golongan yang menyebabkan harga jual ecerannya menjadi semakin berjarak," ungkapnya.
Mukhaer mengatakan jika dilihat dari sisi pengendalian, kenaikan tarif CHT dengan tujuan mengurangi konsumsi rokok menjadi tidak tercapai jika jarak tarif antar golongan masih tergolong lebar. Hal inilah yang menjadi pemicu shifting (peralihan) konsumen dari rokok golongan I ke golongan II. Tidak adanya perbaikan pada struktur tarif CHT, baik dari struktur tarif maupun jarak tarif yang lebar, berpotensi akan terus menggerus penerimaan CHT ke depannya.
"Kenaikan CHT salah satu tujuannya adalah menaikkan penerimaan dan tujuan ini jadi tidak tercapai karena terjadi downtrading pada rokok golongan I. Kerugian negara menjadi double (berlipat) yang berasal dari kerugian turunnya penerimaan dan tidak turunnya prevalensi perokok. Di mana perokok hanya beralih jenis rokoknya, tidak mengurangi jumlah konsumsinya," jelasnya.
Penurunan penerimaan cukai dan meningkatnya tren konsumsi rokok yang lebih murah pada tahun 2023 perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Mukhaer memaparkan sejumlah solusi strategis yang dapat diimplementasikan melalui kebijakan fiskal seperti penyederhanaan struktur tarif cukai secara bertahap.
Di kesempatan lain, Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Risky Kusuma Hartono, sepakat bahwa fenomena pembelian rokok yang lebih murah itu sangat dimungkinkan, jika dilihat dari struktur tarif yang masih berlapis saat ini. Risky mengatakan hal ini lumrah terjadi pada masyarakat usia produktif dengan gaji di bawah UMR karena harga rokok di pasar masih sangat bervariasi dan dapat menjadi pilihan lain bagi konsumen.
Baca Juga: Asosiasi Vape Berharap Presiden Terpilih Memahami Persoalan Rokok Elektrik
“Downtrading memungkinkan sekali (terjadi) karena konsumen keberatan dengan kenaikan harga. Padahal, kita berharap kenaikan cukai ini membuat perokok memutuskan berhenti merokok. Harapannya kesana, makanya 8 golongan ini masih ada kelemahannya, tidak membuat konsumennya berhenti merokok tetapi malah membeli produk rokok yang harganya lebih murah,” ucapnya.
Risky menjelaskan struktur tarif CHT yang tidak efisien berakibat pada manfaat cukai itu sendiri, sebagai pengendalian konsumsi. Selain itu, pendapatan negara menjadi kurang optimal dengan adanya struktur cukai yang berlapis di 8 golongan. Menurutnya, rokok adalah produk inelastis di mana ketika harganya dinaikkan, pembelinya pun masih ada. Namun, dari sisi pengendalian dan penerimaan menjadi tidak maksimal karena variasi tarif rokok yang berlaku di pasaran.
“Sebenernya kalau ingin semakin tidak terjangkau, kenaikan harga rokok harus di atas inflasi,” ungkapnya.
Sehingga dalam hal ini, Risky menegaskan, menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk membenahi struktur cukai menjadi lebih sederhana agar manfaat dari cukai menjadi lebih optimal, baik dari sisi pengendalian maupun penerimaan negara.
“Harapannya, dari 8 struktur tarif yang ada, gapnya bisa terus didekatkan tidak dalam kurun waktu yang terlalu lama. Batasan produksi juga perlu didekatkan gapnya untuk mengurangi risiko industri mengakali batasan jumlah produksinya,” jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement