Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Survey Fraud Global 2024 Telah Beredar

Oleh: Diaz Priantara, Ak, BKP, CA, CPA, CICA, CCSA, CRMA, CFSA, CIA, CFE

Survey Fraud Global 2024 Telah Beredar Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), suatu organisasi profesi anti-fraud yang berkedudukan di Amerika Serikat dan memiliki perwakilan (chapter) di seluruh dunia termasuk Indonesia, telah menerbitkan Report to The Nations (RTTN) terbaru yaitu RTTN Tahun 2024.

RTTN telah dilakukan ACFE sejak tahun 1996 dan ACFE menyempurnakan metodologi survei, fenomena yang ingin dieksplorasi, dan penyajian hasil survei. RTTN adalah publikasi dua tahunan oleh ACFE yang bersumber dari jawaban para anggota ACFE di seluruh dunia tentang antara lain profil pelaku fraud, tipologi atau taksonomi fraud, industri yang rentan fraud, kerugian karena fraud. Hasil survei yang menjadi RTTN menghasilkan data deskriptif.

RTTN banyak digunakan oleh para praktisi untuk membangun program atau sistem manajemen risiko fraud dan digunakan para akademisi sebagai suatu fenomena menarik untuk dijadikan penelitian lebih lanjut.

RTTN memiliki kredibilitas tinggi karena yang dapat menjawab survei adalah anggota ACFE yang terdaftar dan anggota tersebut wajib memiliki pengalaman menangani kejadian fraud selama dua tahun belakangan.

Karena status anggota tersebut dan dengan adanya kewajiban pengalaman menangani kejadian fraud, maka jawaban survei memiliki dasar pengetahuan tentang fraud dan penanganannya serta data empiris tentang kejadian fraud. Tercatat anggota ACFE di 138 negara berpartisipasi mengisi survei dan berpijak pada 1921 kasus nyata selama tahun 2022-2023.

RTTN dapat digunakan oleh praktisi anti-fraud dalam membangun dan meningkatkan keandalan sistem manajemen risiko fraud di lingkungan atau tempat kerjanya sehingga kerugian karena fraud menjadi minimal di bawah ambang batas yang dapat diterima. Oleh karena itu, berikut ini beberapa temuan penting survei yang dilaporkan pada RTTN tahun 2024 yang dapat dimanfaatkan sebagai tolok ukur pembanding, indikator kinerja, atau sebagai referensi:

Rata-rata lamanya fraud tersembunyi sebelum terdeteksi adalah 14 bulan. Karakteristik fraud adalah tersembunyi atau clandestine karena disembunyikan, kolusi, disamarkan dan dengan berbagai teknik pengelabuan lainnya. Rata-rata waktu fraud tersembunyi mengalami penurunan dibandingkan 30 tahun lalu seiring dengan semakin sadarnya pihak yang mengetahui fraud untuk melaporkan, semakin matangnya system pelaporan pengaduan (whistleblowing), semakin kompetennya lini kedua (manajemen risiko) dan lini ketiga (audit intern) mengidentifikasi risiko fraud dan membangun sistem manajemen risiko fraud, penggunaan data elektronik beserta alat-alat dan metode analisisnya serta implementasi perangkat pendeteksi fraud.

Kerugian karena fraud berdasarkan nilai median adalah USD145,000 per kasus atau berdasarkan nilai rata-rata sekitar USD1,7 juta dan secara kerugian total rata-rata tahunan adalah 5% dari pendapatan kotor perusahaan.

Kerugian 5% ini tidak pernah menurun dibanding survei sebelumnya. Ketiadaan penurunan kerugian ini tidak berkorelasi dengan berbagai upaya komunitas profesi anti-fraud untuk memperbaiki dan meningkatkan keandalan sistem deteksi fraud. Seharusnya jika system ini makin andal maka dapat mendeteksi anomali atau kejanggalan dan kecurigaan lebih cepat dan mencakup banyak skenario fraud sehingga kerugian karena fraud dapat ditekan dari kecepatan menghentikan perbuatan fraud yang sudah dan sedang terjadi.

Kemungkinan besar kerugian total rata-rata tahunan 5% tidak menurun karena variasi dan jenis fraud terus bertambah, canggih, dan makin kompleks mendahului pengembangan teknik dan perangkat deteksi. Hal ini membuktikan bahwa fraud tidak pernah mati dan selalu mengintai di setiap kesempatan atau peluang.

Sistem pelaporan pengaduan berkontribusi 43% pada pendeteksian fraud. Whistleblowing masih dominan dan efektif, namun persentase kontribusinya berangsur menurun karena teknik dan perangkat deteksi yang lain sudah banyak diterapkan lini kedua dan lini ketiga, seperti analisis data (big data analytics).

Baca Juga: Pertumbuhan Logistik Nasional Tembus 8%, CKB Logistics Optimalkan Bisnis Melalui Kargo Udara

Kontributor pelaporan pengaduan (whistleblower) terbesar (52%) adalah pegawai perusahaan itu sendiri yang mengetahui praktik fraud yang terjadi di dalam perusahaan dan sepertiga whistleblower adalah pihak ketiga seperti vendor atau rekanan dan pelanggan atau mitra usaha.

Oleh karena itu, perusahaan harus aktif membangun kesadaran dan kepedulian anti-fraud di internal perusahaan sembari meningkatkan keandalan sistem pelaporan pengaduan sehingga pegawai maupun pihak ketiga segera melaporkan adanya dugaan atau kecurigaan adanya fraud

Bentuk dan badan usaha (perusahaan) harus memperhatikan risiko fraud yang disebabkan ketiadaan dan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) karena SPI yang lemah sangat berkontribusi terhadap kejadian fraud, khususnya penyalahgunaan, penggelapan, pencurian harta perusahaan. Perusahaan harus memperhatikan lama seseorang khususnya pemangku jabatan dan kewenangan berada pada jabatan atau kedudukannya dan lamanya seseorang bekerja di perusahaan karena pelaku fraud terbukti adalah pegawai yang memiliki kematangan pengalaman bekerja, terlebih jika pelaku berada pada jabatan dan kewenangan dalam waktu lama sehingga pelaku sangat mengetahui kelemahan SPI dan memiliki kemampuan mengabaikan atau mengelabui SPI. Kerugian fraud makin besar tiga kali lipat apabila terdapat peluang kolusi atau konspirasi dan kerja sama.

Perusahaan termasuk pemerintah harus memperhatikan fraud yang dilakukan oleh petinggi-petinggi organisasi seperti pemilik perusahaan dan eksekutif karena kerugian fraud akibat perbuatan mereka sangat besar (7,5 kali lipat) dibandingkan kerugian oleh pegawai lebih rendah. Sebab, petinggi-petinggi ini memiliki kemampuan mengabaikan atau mengelabui SPI dan fraud yang dilakukan memiliki dampak masif bagi keuangan organisasi.

Jenis fraud yang umumnya dilakukan oleh petinggi-petinggi organisasi adalah pelaporan keuangan yang sengaja dibuat salah dan menyesatkan serta korupsi. Petinggi-petinggi organisasi juga mampu melakukan penyalahgunaan, penggelapan dan pencurian harta perusahaan yang massif dengan nilai besar, contoh pada keputusan investasi. Petinggi-petinggi organisasi ini mampu melakukan fraud karena check & balance oleh pilar pengawasan organisasi dan etika sebagai bagian dari tata kelola tidak berfungsi efektif.

Jenis industri yang mengalami kerugian atau terlibat fraud dengan nilai median kerugian terbesar adalah pertambangan, perdagangan besar (wholesale), produksi atau manufaktur, dan konstruksi. Namun, industri yang rentan sering terjadi fraud adalah perbankan walau nilai kerugian mediannya kalah dibandingkan empat industri tersebut. Ini berarti, praktisi anti-fraud di keempat industri ini harus bekerja keras mengatasi kerugian besar dengan frekuensi kejadian yang jarang terjadi sedangkan praktisi anti-fraud di perbankan harus cekatan mengantisipasi frekuensi kejadian fraud yang sering terjadi yang mungkin menghadirkan variasi dan jenis serta skenario fraud yang berubah-ubah.

Survei ini ternyata menunjukkan bahwa semua sektor memiliki kerentanan atas risiko fraud. Sektor pemerintah mengalami rata-rata kerugian total terbesar tetapi sektor perusahaan komersial dan sektor perusahaan publik (BUMN/BUMD) justru mengalami keterjadian fraud lebih banyak.

Penanganan fraud haruslah paripurna, penegakan hukum atas pelaku fraud sebagai suatu kejahatan belum seluruhnya melalui hukum pidana atau perdata. Hanya 57% organisasi yang menjadi korban yang melaporkan ke penegak hukum atau melalui penyelesaian hukum.

Baca Juga: Jelang Lebaran, KAI Logistik Tambah Kapasitas Angkutan KA 10 Persen

Faktor utama keengganan organisasi tidak melaporkan ke penegak hukum atau melalui penyelesaian hukum karena merasa cukup sanksi disiplin internal dan khawatir diketahui masyarakat sehingga reputasinya buruk.

72% laporan fraud ke penegak hukum atau melalui penyelesaian hukum memberikan keberhasilan (terbukti adanya fraud secara hukum). Yang mengejutkan adalah hanya 68% pelaku yang diberhentikan oleh organisasi yang menjadi korban. Sisa 32% tidak diberhentikan dan hanya menerima sanksi administratif.

Selain itu, responden melaporkan bahwa pengembalian kerugian karena fraud sangat kecil. Hanya 13% pengembalian penuh kerugian, 57% gagal mendapat pengembalian kerugian, dan sisa 30% memperoleh pengembalian parsial. Ini berarti dapat diperkirakan bahwa pelaku fraud bukan hanya menikmati dan menyembunyikan hasil jarahannya, ia tidak selalu tersentuh sanksi fisik pidana, dan juga tidak dimiskinkan.

Apakah semua praktik ini memberikan efek jera yang efektif dalam pemberantasan fraud?

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel:

Berita Terkait