Polemik BMAD Ubin Keramik Porselen Jadi Kepentingan Publik, Pengamat: Jika Blunder Kepuasan Kinerja Jokowi Bisa Turun
Pengamat politik sekaligus peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mengatakan, persoalan rencana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas ubin keramik porselen asal Tiongkok maksimal 200% yang direkomendasikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) bisa memberikan dampak politik bagi pemerintah.
Menurut Surokim, persoalan ekonomi baik secara makro maupun mikro menjadi variabel penting dalam menopang tingkat kepuasan kinerja bagi pemerintah, khususnya bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di akhir kepemimpinan periode keduanya.
"Tingkat kepuasan publik itu dinamis bisa naik turun tergantung pada banyak variabel baik makro maupun mikro. Sepanjang kondisi makro ekonomi nasional masih stabil dan baik serta tingkat kepuasan publik masih di atas 75%, saya pikir masih relatif aman untuk Presiden Jokowi hingga akhir periode. Memang tetap harus waspada agar opini publik bisa terjaga,” ujar Surokim, Rabu (24/7/2024).
Menurutnya, meski dalam survei terbaru tingkat kepuasan kinerja Presiden Jokowi masih tinggi, namun harus mewaspadai dan hati-hati terhadap kebijakan BMAD ubin keramik porselen impor tersebut.
Sebab, kata Surokim, kebijakan tersebut selain berdampak bagi stabilitas ekonomi nasional, juga menyangkut hajat orang banyak. Apalagi, jika sampai terjadi kelangkaan dan naiknya harga ubin keramik porselen di pasaran yang jumlah permintaannya banyak, sementara kemampuan produksi dalam negeri masih belum bisa terpenuhi.
Jika persoalan ini tidak segera diatasi dengan baik, Surokim memprediksi bisa berpotensi menurunkan kepuasan masyarakat di akhir periode jabatan Presiden Jokowi.
"Hal-hal yang menimbulkan pro kontra sesungguhnya sudah biasa, tetapi harus ditakar agar yang kontra tidak melebihi batas kepatutan dan kewajaran sehingga bisa mempengaruhi secara signifikan,” bebernya.
Dikatakan Surokim, apabila kebijakan pengenaan BMAD 200% atas ubin keramik porselen asal Tiongkok itu menimbulkan kontroversi dan perdebatan di masyarakat, maka pemerintah harus meninjau atau mengkaji ulang supaya dampaknya tidak semakin meluas.
Bila perlu, lanjut Surokim, pemerintah melakukan kajian ulang atas hasil rekomendasi dari KADI dengan data yang kredibel, lalu membukanya ke publik supaya mendapat pemahaman serta dapat menerima alasan yang kuat sehingga tidak merasa keberatan.
“Selain itu dalam kondisi force major harus bisa mengambil keputusan secara cepat agar opini publik tersebut tidak jatuh dan jika memang itu dirasa memberatkan maka perlu dikaji ulang,” urainya.
Surokim meyakini Presiden Jokowi akan mempertimbangkan suara rakyat dengan berhati-hati mengeluarkan suatu kebijakan yang sensitif di akhir jabatannya tersebut, apalagi mengenai BMAD ubin keramik porselen impor yang menyangkut hajat hidup banyak masyarakat Indonesia.
Dengan begitu, Surokim meyakini jika Presiden Jokowi tidak membuat blunder dengan membuat kebijakan yang keliru, tingkat kepuasan Presiden Jokowi akan tetap tinggi di akhir masa jabatannya.
“Jokowi itu tipe pemimpin Jawa yang cermat, santun dan berhati-hati serta pro publik. Menurut saya jika melihat tren selama ini kok masih akan bisa bertahan dengan tingkat kepuasan publik yang baik hingga akhir periode,” ucapnya.
“Sepanjang beliau masih konsisten dan bisa menjaga citra udara dengan baik dan mengambil kebijakan-kebijakan itu berdimensi kemaslahatan publik, saya pikir akan tetap terjaga hingga akhir periode,” tuntasnya.
Sebelumnya, rencana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sekitar 100 – 199% atas keramik impor asal China menuai kritik pedas dari berbagai kalangan baik dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maupun para pakar ekonomi.
Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto mengatakan kebijakan BMAD dinilai kurang tepat di tengah tingginya permintaan dalam negeri yang masih belum terpenuhi dari dalam negeri.
"Untuk industri ini kapasitas produksi saat Pada periode penyelidikan anti dumping bahwa dalam negeri hanya mampu menyediakan 70 juta m2 sedangkan kebutuhannya mencapai 150 juta m2. Jelas ada gap atau kekurangan sekitar 80 juta m2 untuk keramik porcelain. Tentu skema impor merupakan pilihan sementara yang paling logis," katanya.
"Bayangkan jika BMAD diterapkan nanti untuk isi kekurangan itu bagaimana solusinya? Jika kebijakan dibuat tidak komprehensif, keruntuhan industri keramik porcelain dalam negeri nantinya sulit dihindari," ucap Darmadi.
Kritik juga dilayangkan oleh Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Andry Satrio Nugroho yang menilai kebijakan ini akan berdampak terhadap konsumen dan industri secara keseluruhan.
"Kami melihat ada ketidakseimbangan antara tujuan melindungi produsen dalam negeri dan kepentingan konsumen. Dengan pemberian BMAD, harga produk porselen di pasar domestik dapat meningkat secara signifikan, yang pada akhirnya akan memberatkan konsumen," kata Andry.
Rencana penerapan BMAD karena anggapan kebutuhan dalam negeri belum mampu dipenuhi oleh produsen domestik dan akan berdampak pada harga jual yang ditanggung konsumen.
Daripada menerapkan BMAD, Andry mengatakan, produsen dalam negeri harus meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi. Andry menilai langkah tersebut akan berdampak lebih panjang bagi industri keramik di Indonesia.
"Daripada menerapkan BMAD, sebaiknya pemerintah fokus pada upaya peningkatan daya saing produsen dalam negeri melalui berbagai program dan insentif," tuntas Andry.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement