Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Percepatan Implementasi Benih Bioteknologi, Kunci Resiliensi di Tengah Krisis Pangan

Percepatan Implementasi Benih Bioteknologi, Kunci Resiliensi di Tengah Krisis Pangan Kredit Foto: Antara/Arnas Padda
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebutuhan adanya kontribusi di bidang ilmu bioteknologi untuk mencegah risiko krisis pangan semakin dibutuhkan. Berdasarkan data BULOG, dampak serius dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan sudah semakin terasa, khususnya dari sisi penurunan produksi tanaman pangan. Sebagai contoh, produksi beras nasional dari Januari-April 2024 mengalami penurunan sebesar 17,74 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, dari 22,55 juta ton menjadi 18,55 juta ton.

Direktur Utama Badan Urusan Logistik (BULOG) Bayu Krisnamurthi menyatakan perlu ada intervensi untuk menjaga ketahanan pangan. Sebagaimana dalam praktik “business as usual” yang akan membuat produksi beras menurun dan harga naik. 

“Tanpa pemanfaatan teknologi, kami memproyeksikan di tahun 2050 jumlah produksi beras akan turun hingga 20 persen, namun harga akan naik hingga 20 persen,” jelasnya lewat agenda sarasehan “Pertanian Berkelanjutan dan Adopsi Teknologi Modern”, Rabu (31/7/2024) di Jakarta.

Sekadar informasi, agenda yang diinisiasi oleh Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian melalui Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) bersama CropLife Indonesia (CLID) ini merupakan bentuk kolaborasi strategis guna merespon ancaman krisis pangan global dan mengeksplorasi solusi bioteknologi di sektor pertanian.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengungkap pentingnya bioteknologi sebagai solusi untuk ketahanan pangan nasional. Populasi penduduk Indonesia yang diprediksi akan mencapai 324 juta jiwa pada 2045, tentu harus dibarengi dengan kesiapan pihak terkait memproduksi bahan pangan yang lebih besar.

Baca Juga: Bapanas Serukan Stop Boros Pangan Demi Penuhi Ketahanan Pangan Nasional

“Salah satu solusi yang kami rasa tepat untuk adalah dengan pemanfaatan benih PRG di sektor pertanian Indonesia,” jelas Direktur Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan Bapanas Yusra Egayanti, SSi., Apt., MP.

Asisten Deputi Prasarana dan Sarana Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Dr. Ir. Ismariny, M.Sc menyatakan, pihaknya mendorong lebih banyak sinergi peningkatan ketahanan pangan nasional dilakukan di berbagai lini.

“Sebagai contoh, Kemenko Ekonomi sudah mulai menggagas banyak program seperti supply peningkatan produksi, diversifikasi pangan, efisiensi distribusi pangan, penggunaan teknologi untuk meningkatkan produksi dan kualitas pangan, hingga penguatan stok pangan nasional. Fokus kami adalah membuat program yang manfaatnya bisa dirasakan oleh petani dan masyarakat,” tuturnya. 

Hingga saat ini, Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) telah melakukan pelepasan pada sepuluh tanaman PRG yang terdiri dari delapan (8) jenis jagung PRG, satu (1) kentang PRG, dan satu (1) tebu PRG. 

Kepala PPVTPP Dr. Ir. Leli Nuryati, M.Sc. menyatakan, dalam melakukan pelepasan varietas tanaman PRG, pihaknya selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian yang sangat ketat. 

“Di lapangan, benih PRG nyatanya sangat dinantikan oleh petani kita. Pada dasarnya mereka sangat siap untuk mengelola varietas unggulan ini. Tugas kita adalah memastikan proses pelepasan yang sesuai aturan dan prosedur, serta meminimalisir produk palsu yang merugikan petani juga masyarakat,” ujarnya.

Meski kebutuhan akan bioteknologi terbukti cukup besar, pengembangan benih unggul di Indonesia bisa dibilang terlambat dibanding negara lain. Proses perizinan, pengembangan, hingga komersialisasi benih PRG di Indonesia rata-rata memakan waktu sekitar 15 tahun. 

Hal tersebut diungkap oleh Direktur Eksekutif CropLife Indonesia Agung Kurniawan. Menurutnya, sampai dengan tahun ini, baru ada 10 varietas benih bioteknologi yang mendapat persetujuan penggunaannya, dan itu pun masih dalam skala terbatas. 

“Regulasi yang ketat masih jadi kendala utama para peneliti di lapangan. Ditambah, ada kemungkinan ketika benih tersebut berhasil dikomersialisasi, tantangan yang dihadapi para petani sudah berubah. Padahal dari sisi petani, mereka sudah sangat antusias dan siap untuk mengadopsi teknologi ini secepatnya,” jelasnya.

Baca Juga: Pupuk Indonesia Gandeng Bulog untuk Serap Hasil Panen Petani MAKMUR

Agung mencontohkan keberhasilan beberapa negara Asia, seperti Vietnam dan Filipina, yang telah mengadopsi bioteknologi dan mengalami peningkatan produksi pertanian hingga 30%. 

"Pencapaian ini menunjukkan potensi besar bioteknologi dalam memperkuat ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Kami berharap sinergi antara berbagai pihak ini dapat mendorong pengembangan dan komersialisasi benih bioteknologi di pasar, sehingga para petani dapat merasakan dampak positif yang sama seperti di negara-negara lain," tambah Agung.

Sejalan dengan kondisi yang ada, Biotechnology and Seed Manager CropLife Indonesia Agustine Christela Melviana menambahkan bahwa penerapan benih bioteknologi memungkinkan petani untuk meminimalisir potensi kehilangan hasil. 

“Benih bioteknologi dirancang untuk memiliki sifat unggul. Artinya, ketika ditanam, tanaman yang dihasilkan bisa lebih resisten terhadap hama, gulma, penyakit, ataupun kondisi lingkungan yang ekstrem. Dengan pemanfaatan benih bioteknologi ini, potensi kehilangan hasil pertanian bisa ditekan hingga 10%, yang berarti ada peningkatan produksi panen yang signifikan bagi petani di lahan terbatas,” jelasnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: