Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pergulatan Melawan Bola Liar Kasus Pidana

Pergulatan Melawan Bola Liar Kasus Pidana Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dua mantan direktur perusahaan logistik tengah menghadapi perjuangan hukum di Pengadilan Negeri Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pasalnya, sebuah perjanjian bisnis yang berujung perselisihan yang sejatinya merupakan aspek perdata belakangan bergulir menjadi kasus pidana.  

Kasus ini sendiri bermula dari kontrak bisnis alih muat batubara antara PT IMC Pelita Logistik Tbk dengan PT Sentosa Laju Energy (SLE) di Kalimantan Timur. Sebagai informasi, SLE dinakhodai oleh Tan Paulin, sosok yang ditulis di media massa beberapa waktu sebagai Ratu Batubara di Kalimantan Timur, dan pada Juli 2024 lalu rumahnya di Surabaya digeledah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan gratifikasi dan TPPU mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari.

Namun, pelaksanaan kontrak bisnis tersebut malah menjadi dakwaan pidana yang menjerat dua mantan Direksi dan juga seorang mantan manajer IMC dengan pasal 404 ayat 1 KUHP yang mengatur tentang menarik barang milik sendiri atau orang lain yang masih ada ikatan gadai, hak pungut hasil, atau hak pakai atas barang tersebut.

Baca Juga: PT IMC Pelita Logistik Tbk Ungkap Perkara Hukum dengan PT Sentosa Laju Energy yang Dinahkodai Tan Paulin

Dakwaan pidana ini juga terkesan dipaksakan mengingat kontrak bisnis merupakan kontrak bisnis alihmuat sedangkan dakwaan pasal 404 KUHP umumnya timbul dalam pelaksanaan perjanjian kredit dalam kaitannya dengan jaminan berupa tanah.

Sabri Noor Herman, selaku kuasa hukum kedua mantan Direktur IMC menjelaskan, "Dalam perkara yang terjadi ini, kontrak yang dimaksud adalah jasa alih muat batubara, bukan sewa alat. Jadi pasal 404 ayat 1 itu keliru disangkakan kepada klien kami. Oleh karena itu, ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia penanaman modal dan bisnis di Indonesia karena kepastian hukum di Indonesia tidak dapat dipegang teguh," jelas Sabri ketika ditemui media di kawasan Menteng, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu (7/8). 

Dugaan kasus kriminalisasi ini sendiri timbul ketika IMC mengalokasikan Floating Crane keluar dari Kalimantan Timur mengingat tidak adanya pesanan dari SLE. Prosedur pengalihan kapal itu sendiri telah sesuai dengan perjanjian dalam kontrak, yakni jika SLE tidak ada permintaan alih muat sesuai dengan tata cara seperti termuat dalam kontrak, maka IMC selaku penyedia jasa sekaligus pemilik kapal dapat mengalihkan kapal tersebut. 

Selanjutnya, karena mendengar FC akan berpindah ke Kalimantan Selatan, SLE kemudian meminta angkutan batubara di lokasi yang tidak sesuai kesepakatan, yakni Kalimantan Selatan. “Kalau di Muara berau IMC masih ada alat pengangkut pengganti Ben Glory, sesuai dengan perjanjian dalam kontrak,” ujar Sabri. 

Baca Juga: Tim Hukum Louis Jauhari Kecewa, Minta Saksi Dihadirkan

Singkat cerita, SLE kemudian melaporkan pihak IMC ke Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan dengan tuduhan menarik barang yang masih ada ikatan sewa, yang membawa kasus ini ke ranah pidana dengan pasal 404 ayat 1 KUHP, dan kemudian berujung pada penetapan tersangka dua mantan Direktur dan seorang mantan Manajer IMC pada Oktober 2023 hingga akhirnya disidangkan di PN Batulicin.

“Padahal, dalam perjanjian juga tertulis, bahwa jika terjadi perselisihan, maka akan diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia,” urai Sabri.  

Perkembangan Persidangan:

Saat ini, kasus tersebut akan memasuki tahap penuntutan. Sabri pun optimis bahwa jika hakim memutus sesuai fakta persidangan selama ini, maka kliennya akan diputus tidak bersalah.

"Selama persidangan ini, tidak ada saksi atau bukti yang bisa membuktikan pasal 404. Harapan kami adalah agar jaksa memeriksa sesuai fakta persidangan. Jika faktanya tidak bisa dibuktikan, maka terdakwa harus bebas," tegas Sabri.

Namun, ada perkembangan yang lebih ‘aneh’ lagi. Dalam sidang terakhir, pada tanggal 30 Juli 2024 kemarin SLE mengajukan permohonan kepada majelis hakim untuk melelang kapal Floating Crane untuk menutupi ganti rugi.

Baca Juga: Pakar Hukum Internasional Soroti Langkah China Layangkan Protes Keras ke Indonesia Buntut Kajian KADI Tidak Kredibel

Sabri pun mempertanyakan kapan kantor akuntan publik bisa memeriksa dan memberikan valuasi atas kapal tersebut. Hal ini mengingat kapal tersebut adalah milik IMC dan tidak ada hak dari pemohon untuk menilai barang milik orang lain.

Kasus ini menjadi perhatian karena adanya potensi kriminalisasi perkara perdata yang dapat mencoreng kepercayaan investor. "Harapan kami adalah agar penegakan hukum ini berjalan dengan benar dan adil. Jangan sampai hal perdata menjadi kasus pidana yang tidak berdasar," ujar Sabri Noor Herman.

Dalam penegakan hukum, idealnya terdapat lembaga yang mengawasi baik di penyidikan, kejaksaan, maupun pengadilan. "Kami berharap fakta yang kami sampaikan dapat digali dan dianalisis secara objektif oleh berbagai pihak, termasuk rekan media untuk bersama kita awasi jalannya persidangan ini," tegas Sabri.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Belinda Safitri

Advertisement

Bagikan Artikel: