Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Eddy Soeparno menyampaikan bahwa UU No 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi tengah dikaji ulang. Hal ini menyusul merosotnya investasi pengembangan panas bumi di RI.
”Sekarang ini oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang DPR sedang dikaji apakah Undang-Undang Panas Bumi itu perlu direvisi atau tidak mengingat progres pengembangan panas bumi relatif rendah di Indonesia,” ujar Eddy dalam agenda diskusi yang digelar Reforminer Institute secara daring, Jakarta, 29/08/2024.
Baca Juga: PGEO dan NEXI Kolaborasi Dongkrak Investasi Sektor Panas Bumi di Indonesia
Tercatat, investasi pada panas bumi turun drastis dari Rp1,2 Miliar tahun 2018 menjadi sekitar Rp740 juta di tahun 2023. Kecilnya investasi yang mengucur di sektor ini menjadikan pemanfaatan panas bumi RI hanya mencapai 10%. Padahal, sebagai negara Ring of Fire, potensi panas bumi RI mencapai 23 hingga 24 Gigawatt (GW).
Selanjutnya, Eddy menjabarkan sederet permasalahan yang menghambat pengembangan energi panas bumi. Pertama, terkait status lahan. Mayoritas potensi panas bumi berada di kawasan hutan baik lindung dan produksi mau pun kawasan pelestarian alam.
Kedua, potensi panas bumi yang berada di pelosok, belum terjangkau oleh infrastruktur yang memadai. Ketiga, untuk sampai pada proses eksploitasi panas bumi membutuhkan waktu cukup panjang.
”Bahkan ada yang memakan waktu sampai dengan 10 tahun. Nah ini merupakan salah satu tantangan terbesar bagi investor untuk masuk ke dalam industri panas bumi karena memang modal yang dibutuhkan cukup besar, keahlian cukup tinggi, risikonya juga cukup tinggi,” tutur Eddy.
Keempat, tarif listrik yang dihasilkan belum tentu ekonomis. Meski tergolong energi bersih, proses pengembangan panas bumi yang begitu panjang dan modal yang tidak sedikit akan menjadi tantangan aspek keekonomiannya ketika dijual ke masyarakat.
Kelima, soal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Para investor yang datang dari luar negeri diwajibkan mengikuti aturan Permenperin No 54 Tahun 2021 terkait TKDN.
Belum lagi soal posisi demand listrik yang berada di perkotaan. Hal ini menuntut transmisi baru guna mengankut energi listrik ke pusat demand yang mayoritas di Pulau Jawa dan Sumatera.
Baca Juga: Sektor Geothermal Berkontribusi Rp3,1 Triliun ke PNBP 2023, Catatkan Kenaikan 34,8%
”Jadi ini memang tantangan di awalnya besar tetapi ketika sudah beroperasi itu menjadi baseload power bagi kita dan bagi sektor pelaku usaha yang ikut di dalam panas bumi itu,” tutup Eddy.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement