Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hilirisasi Mampu Tingkatkan PDB Sebesar US$ 235,9 Miliar dan Nilai Ekspor Hingga US$ 857 Miliar

Hilirisasi Mampu Tingkatkan PDB Sebesar US$ 235,9 Miliar dan Nilai Ekspor Hingga US$ 857 Miliar Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Riyatno mengatakan, nilai investasi di sektor hilirisasi hingga 2040 diprediksi mencapai US$ 618,1 miliar. Hal tersebut dituangkan dalam peta jalan (roadmap) Hilirisasi Investasi Strategis hingga 2040.

“Investasi tersebut akan memberikan tambahan terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar US$ 235,9 miliar, mendongkrak nilai ekspor hingga US$ 857 miliar, serta membuka lapangan pekerjaan lebih dari 3 juta,” kata Riyatno dalam “Investortrust Future Forum: Mendiversifikasi PMA di Investasi Berkelanjutan”, yang digelar Investortrust.id  bersama Kementerian Investasi/BKPM, di Jakarta, Rabu (25/9).

Seminar ini menghadirkan panelis Direktur Hilirisasi Perkebunan, Kelautan, Perikanan dan Kehutanan Mohamad Faizal, Subkoordinator Pengembangan Investasi dan Kerjasama Sektor Batubara Kementerian ESDM Yunita Siti Indarwati, VP Government Relation PT Freeport Indonesia Harry Pancasakti, Ketua Indonesian Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau, Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda.

Riyatno menyatakan, pemerintah terus mendorong hilirisasi dan industrialisasi untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Apalagi, hilirisasi memberikan nilai tambah berlipat.

“Misalnya untuk nikel, kalau sudah menjadi nikel sulfat, itu menjadi 11,4 perkaliannya. Untuk precursor itu menjadi atau kali 19,4. Untuk katoda kali 37,5. Dan tentu kalau bisa menjadi sel baterai itu perkaliannya 67,7. Jadi sangat luar biasa kalau bahan mentah itu atau raw material itu diolah,” kata Riyatno 

Namun, untuk mendorong hilirisasi dan industrialisasi, Indonesia kekurangan SDM yang kompeten. “Setiap tahun dibutuhkan sekitar 16.000 tenaga kerja kompeten untuk sektor manufaktur, termasuk hilirisasi,” kata Riyatno. 

Kendala lainnya adalah kebutuhan investasi yang besar. Untuk itu, dibutuhkan perluasan kerja sama internasional. Dalam hal ini, Kementerian Investasi/BKPM membuat perjanjian-perjanjian baik bilateral, multilateral, atau bilateral investment treaty.

Riyatno juga menyebutkan, hilirisasi juga menghadapi tekanan terkait dengan pelarangan ekspor komoditas mentah sebagai bahan baku. Indonesia digugat Uni Eropa melalui World Trade Organization (WTO) terkait dengan larangan ekspor nikel beberapa waktu lalu. 

Hingga kini, pemerintah sudah memberikan berbagai insentif untuk mendorong investasi di sektor hilirisasi, terutama di sektor perpajakan, kebijakan di sektor keuangan, dan Undang-Undang yang mendukung.

Mohammad Faizal menambahkan, investasi sebesar US$ 618 miliar tersebut tersebar di 28 komoditas unggulan Indonesia, di antaranya sektor mineral, batu bara, minyak bumi, gas bumi, perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan. Komoditas tersebut dipilih karena Indonesia memiliki cadangan berlimpah.

"Seperti kita tahu bahwa nikel, potensi nikel kita nomor satu di dunia, timah potensinya nomor dua di dunia, bauksit nomor enam. Begitu pula dengan katakanlah sawit, sawit kita nomor satu di dunia, kelapa nomor satu, karet nomor dua, udang nomor tiga, ikan, tuna, cakalang, tongkol nomor satu di dunia, rajungan nomor dua, dan lain sebagainya," terang Faisal.

Mohammad Faizal menjelaskan, pada 2023, total nilai realisasi dari sektor hilirisasi adalah mencapai Rp 375,4 triliun. Capaian nilai tersebut berkontribusi sebanyak 26% dari capaian realisasi investasi pada tahun 2023. Begitu pula pada semester I tahun 2024 ini, 21,9% dari total realisasi di semester I 2024 berasal dari realisasi investasi perusahaan-perusahaan yang melakukan hilirisasi.

Menurut Faiszl, dengan roadmap hilirisasi tersebut, Indonesia diharapkan menduduki posisi lima besar negara produsen baterai untuk kendaraan listrik dunia, serta menjadi salah produsen stainless steel terbesar dunia.

Sedangkan Ketua Umum (Ketum) Indonesia Mining Association (IMA), Rachmat Makkasau menyampaikan, Indonesia memiliki potensi menghilirisasi komoditas selain nikel di sektor pertambangan, yakni katoda tembaga di tahun 2025 mendatang.

Hal ini seiring dengan peresmian smelter tembaga dan pemurnian logam mulia PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan smelter PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik JIIPE, Kabupaten Gresik, Jawa Timur  oleh Presiden Joko Widodo, Senin (23/9/2024).

“Tembaga kita saat ini menguasai 3%-4% market share di dunia, bahkan kalau (perusahaan) yang lain jalan, kita bisa punya market share sekitar 7-10% di dunia. Kita punya kemampuan untuk mengontrol produk tembaga atau hilirisasi tembaga,” papar Rachmat.

Subkoordinator Pengembangan Investasi dan Kerjasama Sektor Batubara Kementerian ESDM Yunita Siti Indrawati menyatakan, tantangan terbesar proyek hilirisasi batu bara di dalam negeri adalah ketersediaan teknologi yang mampu mengolah batu bara menjadi produk yang bernilai tambah.

“Bukan hal yang mudah bagi perusahaan tambang batu bara untuk mencari mitra proyek hilirisasi batu bara. Sebab, belum banyak negara di dunia yang sudah melakukan atau mengembangkannya. Tantangannya, di capex (capital expenditure atau biaya modal) investasi yang besar dan juga ketersediaan teknologinya," katanya.

Terkait dengan persoalan nilai keekonomian dari proyek hilirisasi batu bara, Yunita menyebut pihaknya terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait untuk penyediaan insentif. Insentif tersebut dapat berupa insentif pajak dalam bentuk tax allowance dan tax holiday maupun insentif lainnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi

Advertisement

Bagikan Artikel: