Para analis dari berbagai dunia mewanti-wanti Presiden Prabowo Subianto untuk membatasi program bauran bahan bakar minyak sawit (biodiesel) cukup hingga B35 saja.
Menurut Executive Director ISTA Mielke Gmbh, Thomas Mielke, pasar global akan merespon negatif biodiesel di tengah optimisme kenaikan harga crude palm oil (CPO) pada tahun 2025 nanti.
Baca Juga: Indonesia-China Kolaborasi Mineral Hijau, Dorong Investasi Energi Bersih di Era Prabowo
“Para produsen global enggan memakai CPO sebagai bahan baku utama karena harganya bakal mahal,” kata Thomas Mielke, ditulis Warta Ekonomi, Senin (11/11/2024).
Dia mengamati beberapa industri biofuel di Amerika maupun Eropa yang mengalami tekanan secara kinerja keuangan. Bahkan, Brazil berniat mundur dari program mandatory biodiesel apabila harganya terus melonjak.
“Bila Pemerintah Indonesia memaksakan program B40, maka harga minyak nabati seperti CPO dan soya akan mengalami kenaikan setidaknya 10%-15% untuk memenuhi permintaan bagi sektor pangan maupun lainnya,” ujar Mielke.
Sementara itu yang menjadi perhatiannya saat ini adalah produktivitas CPO Indonesia yang cenderung stagnan sampai dengan 2026. Kenaikan harga minyak nabati, ucap dia, nantinya akan dimanfaatkan oleh produsen canola, rapeseed, serta sunflowers untuk memperluas wilayahnya.
Namun di sisi lain, kebun-kebun kelapa sawit di Indonesia sedang mengalami moratorium kendati sebagian sudah memasuki usia replanting yang berakibat pada penurunan yield.
Baca Juga: Beragam Dorongan hingga Swasembada Energi Prabowo, Menariknya Prospek Kinerja Emiten CPO 2024
Lebih lanjut, Dorab Mistry selaku Director Godrej International Ltd memperkirakan harga CPO semester I/2025 nanti menembus level MYR 5.000 per tonnya. Adapun peningkatan harga terjadi seiring dengan menurunnya produksi di Indonesia dan Thailand.
Dirinya menganggap bahwa apabila tren kenaikan harga CPO terus berlanjut, maka akan berdampak pada level kompetitif dengan minyak nabati lainnya.
Hal tersebut senada dengan yang disampaikan Julian Mc Gill selaku Managing Director Glenauk Economics. Menurutnya, kenaikan harga CPO merupakan refleksi dari minimnya ketersediaan di pasar. Pasalnya, saat ini CPO sudah termasuk ke dalam minyak nabati premium seperti rapeseed.
Baca Juga: GAPKI: Eropa Bakal Tetap Membutuhkan Sawit
“Perlambatan pertumbuhan lahan perkebunan menyebabkan pasokan minyak sawit menjadi stagnan. Ekspor minyak sawit mencapai puncaknya pada 2019 dan tidak pernah kembali ke level tersebut,” jelas Julian.
Untuk diketahui, pada tahun 2019, ekspor minyak kelapa sawir atawa crude palm oil (CPO) Indonesia mencapai 36,17 juta ton atau setara naik sebesar 4,2% year on year (yoy).
Akan tetapi, dia khawatir apabila tren kenaikan harga CPO terus berlanjut bakal berdampak negatif bagi permintaan kelapa sawit. Berdasarkan catatannya, ekspor soyabean telah mampu melampaui kinerja CPO di posisi 40 juta ton pada tahun 2023.
Tanda-tanda penurunan permintaan terhadap CPO juga sudah terlihat dalam dekade terakhir. Hal itu diungkapkan oleh Managing Director Transgraph Nagaraj Meda.
Minyak kelapa sawit, lanjutnya, pada 2014 memiliki market share mencapai 45% terhadap pasokan minyak nabati dunia, sedangkan pada 2024 jumlah itu tergerus menjadi 37%.
Sebagai contoh pasar India yang menjadi tujuan ekspor utama CPO, antara 2012-2013 membukukan penyerapan 8,24 juta ton naik tipis pada 2023-2024 di posisi 9 juta ton. Di sisi lain, pada 2012-2013 total ekspor soyabean ke India 1,09 juta ton yang telah naik tiga kali lipat menjadi 3,5 juta ton.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement