Tak Hanya Soal Harga, Aksi Buang Susu di Boyolali juga Gambarkan Permasalahan Tata Niaga
Aksi peternak susu di Boyolali yang membuang susu hasil perahan mereka baru-baru ini berhasil menarik perhatian publik terhadap kondisi tata niaga susu di Indonesia. Menurut para peternak, aksi ini merupakan bentuk protes terhadap situasi pasar yang tidak berpihak pada mereka, serta ketidakpuasan atas solusi sementara yang ditawarkan oleh pemerintah.
Pemerintah telah menjanjikan bahwa importir susu akan diwajibkan menampung susu peternak lokal dengan ancaman pencabutan izin impor jika tidak dilakukan. Namun, janji tersebut dinilai hanya menyentuh permukaan masalah dan tidak memberikan perbaikan jangka panjang yang fundamental.
Pemerintah diminta menawarkan solusi yang lebih menyeluruh, bukan hanya ancaman bagi importir. Sebab, nasib peternak bergantung pada sistem yang adil dan berkelanjutan.
Dalam tata niaga susu nasional, peternak rakyat berada di posisi yang lemah. Mereka tidak hanya bergantung pada keputusan perusahaan pengolahan yang dapat secara sepihak menolak setoran susu, tetapi juga harus menghadapi dominasi importir yang berpotensi menekan harga pasar dengan penambahan kuota impor. Kondisi ini membuat peternak lokal berada dalam ketidakpastian harga dan penerimaan produk.
Baca Juga: Aksi Peternak Buang Susu dan Kedaulatan Peternak Susu Sapi Nasional
Banyak peternak mengeluhkan bahwa perusahaan pengolahan sering menggunakan alasan standar kualitas atau kapasitas yang dibuat-buat untuk menolak susu hasil ternak rakyat. Di sisi lain, importir yang memiliki akses kuota impor seringkali memainkan harga susu dalam negeri, yang berujung pada penurunan pendapatan peternak. Hal ini membuat peternak tidak memiliki kendali atas harga dan distribusi produk mereka.
Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), menyebut bahwa sistem tata kelola industri susu di beberapa negara maju dapat menjadi inspirasi. Di Selandia Baru, misalnya, peternak susu bergabung dalam koperasi susu nasional bernama Fonterra. Fonterra tidak hanya mengelola proses produksi dan pemasaran susu, tetapi juga memberikan dukungan finansial, pelatihan, serta layanan kesehatan ternak untuk anggotanya.
Peternak anggota Fonterra mendapatkan keuntungan dari seluruh rantai pasok bisnis, tidak hanya dari penjualan susu di tingkat kandang. Pembagian keuntungan dilakukan secara adil dan transparan berdasarkan partisipasi setiap anggota. Dengan dukungan koperasi yang kuat, para peternak di negara-negara tersebut dapat fokus pada produksi tanpa khawatir dengan ketidakpastian harga pasar atau distribusi.
Baca Juga: Gandeng Asosiasi Pedagang Martabak, Susu Gizzi Dukung UMKM Martabak Melalui Susu Berkualitas
Suroto menekankan bahwa penguatan koperasi susu harus menjadi prioritas utama pemerintah jika ingin memperbaiki nasib peternak secara berkelanjutan. Melalui koperasi, peternak dapat memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan yang akan mempengaruhi mereka. Di Fonterra, misalnya, peternak anggota memiliki perwakilan dalam Dewan Pengurus koperasi dan bekerja sama dengan manajer profesional untuk memastikan keputusan yang berpihak pada kesejahteraan anggota.
Menurut data, Fonterra saat ini menguasai 35 persen pangsa pasar susu dunia dan terdiri dari 10.500 peternak dengan rata-rata kepemilikan 3.500 ekor sapi per peternak. Keberhasilan koperasi ini menunjukkan bahwa sistem berbasis kepemilikan rakyat mampu menjadi solusi atas permasalahan ketidakadilan dalam tata niaga susu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement