Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menengok Sejarah Biodiesel di Indonesia

Menengok Sejarah Biodiesel di Indonesia Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bahan bakar alternatif dari nabati saat ini tengah digencarkan di tengah isu bahan bakar fosil yang menipis dan tidak berkelanjutan serta berdampak buruk pada lingkungan.

Adapun keunggulan dari biodiesel yakni ramah lingkungan karena bisa mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini karena biodiesel berasal dari bahan-bahan terbarukan. Di sisi lain, dibandingkan dengan bahan bakar fosil, biodiesel lebih mudah terurai secara alami (biodegradable). Keunggulan lainnya adalah biodiesel mendukung ketahanan energi dan mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil.

Baca Juga: Lima Pekerjaan Rumah yang Belum Selesai Terkait Legalitas di Kebun Sawit

Indonesia saat ini telah menerapkan Biodiesel 35% (B35) yang merupakan bauran dari solar dengan minyak sawit sebesar 35%. Pada tahun 2025 nanti, Indonesia menargetkan untuk bisa menerapkan B40.

Lebih lanjut, pengembangan biodiesel kelapa sawit di Indonesia sendiri berlatar belakang pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan serta meningkatkan kemandirian energi nasional. Lantas, bagaimana sejarah pengembangan biodiesel di Indonesia?

Sejarah Perkembangan Biodiesel Kelapa Sawit di Indonesia

Sejatinya, pada tahun 1990-an, sudah mulai dilakukan riset biodiesel di Indonesia. Saat itu, para peneliti mengeksplorasi berbagai minyak nabati untuk digunakan sebagai bahan bakau biodiesel. 

Minyak nabati yang digunakan di antaranya minyak jelantah, jarak pagar, minyak sawit, minyak kemiri, dan sejenisnya. Kala itu, risetnya sudah mencapai tahap skala pilot project hingga uji coba pada mesin sehingga tidak terbatas pada skala lab saja.

Adalah Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang saat itu memberikan andil besar dalam pengembangan biodiesel di Indonesia. PPKS, sebagai salah satu lembaga penelitian di bidang perkelapasawitan, tercatat melakukan riset sejak tahun 1992 untuk mengembangkan bahan baku atau feedstock dari minyak sawit itu sendiri.

Alhasil, pada tahun 2001, biodiesel sawit hasil riset PPKS mulai diujicoba pada mesin pertanian dan kendaraan. Sementara itu pada tahun 2004, PPKS juga melakoni roadtest dengan mobil dan truk yang menempuh perjalanan dari Medan ke Jakarta guna menguji biodiesel 10% atau B10 saat itu.

Kendati dari tahun 1990 hingga 2000 pengembangan biodiesel dan risetnya sudah dilakukan, namun masih belum ada gebrakan signifikan. Kondisi berubah pada tahun 2004. Pasalnya saat itu Indonesia menghadapi gejolak pada sektor energi khususnya saat perubahan status dari net eksporter ke net importer minyak bumi. Disusul adanya lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM) secara signifikan yang memicu krisis energi setahun setelahnya.

Alhasil, hal tersebut menjadi ‘game changer’ dalam pengembangan bahan bakar nabati alias BBN di Indonesia.

Pengembangan BBN Atasi Kebengkakan Neraca Migas

Defisit neraca migas kian membengkak lantaran adanya ketergantungan impor BBM. Alhasil, mau tak mau, pemerintah Indonesia pun berinovasi untuk mengembangkan BBN, termasuk biodiesel, dengan cara memanfaatkan sumber daya lokal.

Harapannya, upaya tersebut menjadi langkah strategis guna mewujudkan kemandirian energi nasional. Adapun komitmen tersebut juga ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Disusul oleh Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati.

Hadirnya kedua regulasi tersebut akhirnya menjadi lokomotif yang memcu riset inovasi pengembangan BBN lanjutan misalnya biodiesel dan bioethanol. Alhasil, bahan baku BBN yang dikembangkan tak hanya dari sawit saja, melainkan juga jarak pagar, singkong, tebu, serta komoditas pertanian lainnya.

Beralih ke tahun 2007, pemerintah juga memperkenalkan pengembangan biodiesel jarak pagar secara masif. Akan tetapi, pengembangan biodiesel jarak mesti terhenti. Alasannya adalah ada masalah tata niaga pada pasar bahan baku. Kendati hal tersebut tidak sesuai dengan harapan, namun pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk keberlanjutan pengembangan BBN, khususnya biodiesel itu sendiri.

Pengembangan biodiesel berbasis sawit pun menjadi komitmen nyata pemerintah Indonesia dalam transisi kemandirian energi. Hal ini mengingat status Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia sehingga ketersediaannya yang relatif besar namun dengan harga murah. 

Maka dari itu, dengan berbagai keunggulan tersebut, pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel pun dinilai mampu meminimalisir terjadinya trade-off-fuel-food atau masalah tata niaga bahan baku. Sehingga, hal itu menjadi salah satu faktor penting yang meyakinkan pengembangan biodiesel sawit di Indonesia.

Titik Terang Transformasi Energi

Aplikasi biodiesel sebagai sumber bahan bakar kendaraan di Indonesia kian menemukan titik terangnya setelah melalui proses formulasi hingga memenuhi standar mutu biodiesel (SNI 04-7182) pada tahun 2006 silam. Istilah kebijakan mandatory biodiesel yang merupakan implementasi kebijakan mandatory atau wajib dalam penggunaan biodiesel ini mulai dikenal luas.

Dalam penggunaan biodiesel, kebijakan mandatory diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain. 

Penggunaan campuran biodiesel dalam regulasi tersebut direncanakan secara bertahap hingga maksimal 20 persen (B20). Sebelumnya, penggunaan campuran biodiesel ini diterapkan pada sektor rumah tangga terlebih dahulu, transportasi PSO atau Public Services Obligation (PSO) maupun non-PSO, pembangkit listrik, hingga industri dan komersial.

Secara perlahan, pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2013, kebijakan mandatory biodiesel kembali ditingkatkan dan diperbesar. Pemerintah, melalui Permen itu, menargetkan blending rate biodiesel mencapai 25% (B25). Disusul oleh Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2015, pemerintah kembali memasang target blending rate yang lebih tinggi yakni B30.

Pada tahun 2008, implementasi kebijakan mandatory dilakukan secara bertahap mulai dari B1, hingga B2.5. kemudian pada tahun 2010 pengembangan biodieselnya ditingkatkan hingga B7.5 dan pada tahun 2014 jadi B10.

Komitmen pengembangan biodiesel sawit ini mendapat dukungan dana sawit hasil pungutan ekspor (levy) yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk digunakan sebagai insentif pengembangan BBN itu sendiri.

Pada tahun 2015, kebijakan mandatory biodiesel pun ditingkatkan jadi B15. Pada tahun 2016, kebijakan mandatory biodiesel pun meningkat menjadi B20 untuk sektor PSO. Kebijakan B20 ini diperluas pada tahun 2018 untuk sektor non-PSO.

Blending rate biodiesel pun ditingkatkan menjadi 30% dengan kebijakan mandatory biodiesel B30 baik untuk sektor PSO maupun non-PSO pada tahun 2020. 

Implementasi B30 tetap berlanjut hingga awal tahun 2022 meskipun dihadapkan pada tantangan di masa pandemi Covid-19. Hal tersebut mengindikasikan pemerintah Indonesia sedang fokus dalam pencapaian target pengembangan biodiesel sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12/2015.

Pemerintah pun kembali meningkatkan blending rate biodiesel dari B30 menjadi B35. Kebijakan B35 itu diatur dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal EBTKE Nomor 10.E/EK.05/DJE/2022 yang akan diimplementasikan pada tanggal 1 Februari 2023. 

Baca Juga: Kebut Program Biodiesel, Bahlil Sebut Demi Tak Perlu Lagi Impor Solar

Langkah optimis ini merupakan akselerasi dari target awal yang telah ditentukan oleh pemerintah yang tertuang pada Peraturan Menteri ESDM No. 12/2015. Dalam peraturan tersebut, program mandatory B30 masih dilanjutkan hingga Januari 2025.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: