- Home
- /
- Kabar Sawit
- /
- Agronomi
Lima Pekerjaan Rumah yang Belum Selesai Terkait Legalitas di Kebun Sawit
Perkebunan sawit Indonesia saat ini tengah dililit oleh berbagai masalah. Salah satunya adalah legalitas dan ketidakpastian hukum yang masih belum jelas bagaimana titik penyelesaiannya meskipun sudah menjadi buah bibir dimana-mana.
Masalah pertama menurut catatan dari Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), dikutip Minggu (8/12/2024), adalah klaim dari Kementerian Lingkungan Hidup (LHK) yang mengungkapkan bahwa ada sekitar 3,7 juta hektare kebun sawit berada dalam kawasan hutan.
Buntut dari permasalahan tersebut yakni perubahan kebijakan tata ruang dan agrarian dari era Orde Baru ke era Reformasi, serta perubahan kebijakan otonomi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Baca Juga: Jadi Tulang Punggung Negara, Ekonom Soroti Beberapa Masalah Krusial dalam Industri Sawit
Sehingga, perubahan tersebut menyebabkan banyak kebun sawit yang terjebak masuk ke dalam kawasan hutan serta tidak memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) maupun perizinan lainnya. Padahal, masalah legalitas, khususnya di Indonesia, itu penting dan pengurusannya berbelit-belit serta membutuhkan waktu yang cukup lama.
Masalah kedua masih berkaitan dengan lahan, yakni tumpang tindih atas hak pemanfaatan ruang atau lahan yang terjadi lintas sektor, lintas perusahaan perkebunan sawit, korporasi dengan kebun sawit rakyat, masyarakat adat, hingga kebun sawit rakyat itu sendiri.
Masalah tumpang tindih tersebut berdasarkan catatan PASPI disebabkan oleh lemahnya data geolokasi dalam pemberian perizinan.
Beralih ke masalah ketiga yakni adanya ketidakpastian hukum dalam Hak Guna Usaha (HGU). HGU ini juga cukup rancu. Pasalnya, HGU perkebunan sawit bisa diberikan oleh Kementerian ATR/BPN, namun di sisi lain, HGU juga bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Kementerian LHK.
“Hal ini mengindikasikan adanya diskoordinasi dan dualisme kebijakan pengelolaan ruang pertanahan antara Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian LHK,” ucap PASPI.
Sementara itu, konflik agraria antara masyarakat sekitar dengan korporasi sawit menjadi masalah keempat yang masih belum tuntas. Menurut PASPI, hal tersebut terjadi lantaran inkonsistensi pelaksanaan kewajiban pembangunan kebun sawit rakyat sebagai kebijakan kemitraan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Baca Juga: Indonesia Dinilai Perlu Naikkan Pasar Domestik Produk Hilir Sawit
Masalah kelima adalah terkait legalitas kebun sawit rakyat. Tercatat dari sekitar 16,3 juta hektare kebun sawit rakyat, 6,8 juta hektare di antaranya merupakan kebun sawit rakyat. Selain 3 juta hektare terganjal klaim kawasan hutan, perkebunan sawit rakyat sebagian besar juga masih belum memiliki legalitas usaha baik Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), badan usaha, maupun kelembagaan.
Maka dari itu, Direktur Eksekutif PASPI, Tungkot Sipayung, menyarankan agar pemerintah melakukan beberapa langkah strategis untuk mengatasi masalah legalitas dan ketidakpastian hukum perkebunan sawit. Salah satunya melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2023 tentang Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara (atau yang dikenal sebagai Satgas Sawit).
“Namun proses penyelesaian masalah tersebut masih sedang berlangsung, sehingga masalah legalitas dan kepastian hukum perkebunan belum terselesaikan secara tuntas,” kata Tungkot.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Fajar Sulaiman
Advertisement