Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Masih Berusia Belia, Ini Sederet Problematika Bursa CPO Indonesia

Masih Berusia Belia, Ini Sederet Problematika Bursa CPO Indonesia Kredit Foto: Uswah Hasanah
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pada bulan Oktober 2023 lalu, Indonesia telah selangkah maju dengan mendirikan Bursa Crude Palm Oil (CPO). Pemerintah memberi mandat penyelenggaraan Bursa CPO ini kepada ICDX atau Indonesia Commodity & Derivatives Exchange.

Pengembangan Bursa CPO tersebut diharapkan bisa menjadi barometer dan pasar acuan harga CPO dunia ke depannya. Mengingat Indonesia saat ini menjadi produsen CPO terbesar di dunia.

Akan tetapi, mengembangkan Bursa CPO Indonesia untuk menjadi acuan global tidaklah mudah. Pasalnya, Indonesia harus bisa bersaing dengan bursa sejenis seperti Bursa Rotterdam dan Bursa Malaysia yang telah hadir lebih dulu sehingga otomatis menjadi acuan harga minyak sawit dunia. 

Sebagai pemula, menurut lembaga kajian Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Bursa CPO Indonesia ini perlu dikuatkan dahulu fondasinya agar memiliki pijakan kuat untuk membangun daya saing yang lebih berkelanjutan ke depan.

“Fondasi bursa tersebut perlu terlebih dahulu dibangun sebagai ekosistem bursa CPO di Indonesia. Kebijakan yang menjadi basis legal pembentukan dan pengoperasian bursa CPO memang sudah dikeluarkan pemerintah. Namun, sejumlah tantangan yang terkait dengan tata kelola kondisi (governance conditions) bursa CPO masih harus dibenahi jika ingin membangun bursa CPO yang berdaya saing,” tulis tim riset PASPI, Minggu (15/12/2024). 

Baca Juga: Sederet Tantangan Industri Sawit dalam Menghadapi Gempuran Revolusi Industri

Adapun beberapa tantangan yang dimaksud tersebut antara lain:

Pertama adalah intervensi dari pemerintah.

Sebagai produsen sekaligus konsumen CPO terbesar di dunia, pemerintah Indonesia pada beberapa momentum kerap melakukan intervensi guna memastikan keamanan serta kestabilan CPO domestik untuk minyak goreng dengan harga yang ditetapkan secara administratif yang mayoritas berada di bawah harga mekanisme pasar.

Salah satu intervensi yang paling tersorot adalah larangan ekspor CPO yang kemudian diganti menjadi kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) atau Harga Eceran Tertinggi (HET).

Meskipun kebijakan tersebut bertujuan untuk mneyediakan pasokan minyak goreng murah untuk masyarakat, konsumen berpendapatan rendah, serta UMKM di bidang kuliner atau pangan, namun intervensi kebijakan mendadak yang cenderung tidak bisa diprediksi tersebut menurut PASPI bisa mematikan mekanisme pasar serta menciptakan keadaan yang tidak kondusif. Di sisi lain, hal tersebut juga berdampak pada daya saing bursa CPO itu sendiri.

“Barangkali perlu dicari mekanisme yang lebih pro pasar, dimana kebutuhan konsumen domestik dapat terpenuhi sesuai harapan pemerintah namun mekanisme pasar CPO tidak terganggu sehingga masih kondusif untuk berkembangnya bursa CPO,” tutur tim riset PASPI. 

Kedua, masalah multi harga acuan.

Para pemegang kepentingan atau stakeholder sawit di Indonesia hingga saat ini masih menganut apa yang disebut sebagai harga acuan untuk CPO. Harga acuan berupa Harga Patokan Ekspor (HPE) yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) ini berlaku bagi CPO dan produk turunannya, pun dengan kebijakan bea keluar ekspor dan pungutan ekspor yang diterapkan untuk CPO serta produk turunannya.

Kemudian, untuk formulasi kebijakan penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel, pemerintah mengacu pada harga acuan CPO Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). Sementara dalam penetapan formulasi harga acuan pembelian TBS petani sawit menggunakan harga CPO FOB Dumai. Pasca bursa CPO Indonesia diresmikan, harga TBS pun mengacu kepada bursa CPO.

Penggunaan multi harga acuan CPO yang rancu dan berbeda satu sama lain hanya untuk komoditas sawit tersebut mengindikasikan tumpang tindih tata kelola industri sawit nasional yang perlu segera dibenahi. Hal tersebut perlu segera dilakukan demi masa depan bursa CPO.

Ketiga, masalah kondisi pasar CPO vs minyak sawit.

Dalam konteks ketiga ini, melibatkan beberapa hal di antaranya adalah keakuratan data tentang produksi minyak sawit, produsen CPO baik jumlah, kapasitas, produksi, lokasi, hingga jadwal produksi, kemudian pedagang CPO, pembeli CPO dan siapapun yang terlibat di dalamnya.

Hal yang perlu digarisbawahi menurut PASPI adalah pemerintah hanya menugaskan bursa CPO dengan pengelola ICDX untuk mengurus komoditi CPO saja. Sementara untuk PKO atau Palm Kernel Oil (PKO) dan produk turunan CPO seperti RBDPO, RBDO, RBD Stearin, tidak termasuk ke dalam bursa CPO.

Padahal, produk-produk tersebut merupakan produk sawit terbesar yang diperdagangkan baik untuk domestik maupun ekspor.

“Hal ini berbeda dengan Bursa Malaysia, dimana seluruh produk turunan CPO dan PKO diperdagangkan dalam bursa,” tutur PASPI. 

Pada akhirnya, pembatasan komoditas dalam bursa CPO tersebut berdampak pada market size bursa CPO Indonesia menjadi kerdil serta tidak menarik. 

“Pembatasan ini juga membuka kemungkinan adanya bursa lain yang memperdagangkan produk turunan CPO dan PKO di Indonesia, dimana market size-nya lebih besar,” terang PASPI. 

Keempat, masalah tangki timbun minyak sawit. 

Dalam mendukung operasi bursa, salah satu infrastruktur pasar yang penting yakni adanya fasilitas tangka timbun atau storage tank CPO dan produk turunannya yang telah mengantongi sertifikasi resmi.

Tangka tersebut umumnya berada di lokasi pabrik kelapa sawit (PKS) maupun pelabuhan. Baik milik produsen, maupun pedagang.

Informasi tangki, dalam konteks pengembangan bursa CPO ini, mencakup lokasi, kapasitas, informasi stok, dan standarisasi/sertifikasi. Hal-hal tersebut wajib disampaikan secara transparan kepada para pelaku bursa terkait. Selain itu, fasilitas tangka timbun ini juga perlu pembenahan.

Baca Juga: Industri Kelapa Sawit Dituntut Makin Adaptif Hadapi Revolusi Industri di Indonesia

Selain keempat hal tersebut, sejatinya masih banyak aspek fondasi bursa yang perlu dibenahi sana-sini. Untuk mendukung bursa CPO Indonesia, diperlukan tata kelola dan kapasitas pengelolaan bursa CPO ICDX yang mumpuni perlu dibangun untuk membangun kepercayaan pasar.

Di sisi lain, PASPI menilai jika diperlukan peningkatan literasi bursa kepada beberapa sektor seperti produsen, pedagang, regulator, hingga masyarakat demi perkembangan bursa CPO yang baik ke depannya.

“Jika bursa CPO Indonesia ingin menjadi barometer pasar minyak sawit dunia dan menjadi harga acuan, maka fondasi bursa CPO harus lebih cepat dibenahi. Fondasi bursa CPO Indonesia harus lebih baik dari fondasi bursa Malaysia atau Rotterdam,” ungkap PASPI. 

PASPI pun memaklumi bahwa umur dari bursa CPO Indonesia masih tergolong belia hingga membutuhkan waktu panjang untuk terus berbenah. Kendati demikian, PASPI optimis jika bursa CPO Indonesia bisa belajar, sebagai pendatang baru, dari dari pengalaman negara lain yang telah senior dalam membangun bursa komoditi.

“Kehadiran bursa CPO di Indonesia akan menciptakan manfaat yang dapat dinikmati oleh pelaku usaha baik di sektor hulu dan hilir (produsen dan konsumen). Untuk mengoptimalkan manfaat tersebut, maka pengembangan bursa tersebut harus didukung dengan fondasi yang tepat. Selain itu, untuk membangun bursa CPO yang berdaya saing maka diperlukan dukungan ekosistem kebijakan, perbaikan tata kelola, peningkatan kapasitas operator bursa dan lembaga terkait serta literasi bursa kepada produsen, pedagang, masyarakat, dan regulator,” pungkas PASPI.

 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: