Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Soal Konflik Sumber Daya Alam dan Tantangan Investasi, INDEF Bahas Solusi dalam Diskusi Panel

Soal Konflik Sumber Daya Alam dan Tantangan Investasi, INDEF Bahas Solusi dalam Diskusi Panel Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Lembaga Penelitian Ekonomi INDEF menggelar diskusi panel bertajuk “Konflik SDA, Tanah, dan Hambatan Investasi” pada hari ini. Acara yang berlangsung di Universitas Paramadina ini dibuka oleh Prof. Dr. Didik J. Rachbini, pendiri INDEF sekaligus Rektor Universitas Paramadina.

Diskusi menghadirkan dua pembicara utama, yaitu Imaduddin Abdullah, Ph.D., Direktur Kolaborasi Internasional INDEF, dan Emir Chairullah, Ph.D., peneliti di Pusat Penelitian Konflik dan Resolusi (PCRC), dengan Alia Rahmatulummah bertindak sebagai moderator.

Dalam paparannya, Imaduddin Abdullah, Ph.D., menjelaskan bahwa Indonesia telah memasuki kategori negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income countries) sejak 2023. Namun, langkah menuju kategori negara berpendapatan tinggi masih jauh.

“Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7–8% per tahun untuk mencapai status tersebut pada 2045. Catatan sejarah menunjukkan, hampir semua negara mengalami kesulitan mencapai angka ini, kecuali China,” ungkapnya.

Menurut Imaduddin, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini cenderung stagnan di sekitar 5% per tahun, meski pernah mencapai angka rata-rata 7,5% pada 1974–1980 akibat dampak slow base impact dan oil boom. Selain itu, bonus demografi yang sedang dinikmati Indonesia perlu dimanfaatkan secara optimal. Jika tidak, Indonesia berisiko menjadi negara "tua sebelum kaya," seperti yang dialami beberapa negara di Amerika Latin.

Baca Juga: Naik Berkali-kali Lipat, Badan Bank Tanah Targetkan Kuasai 140 Ribu Hektar Tanah di 2025

Ia juga menyoroti penurunan investasi yang masuk ke Indonesia sejak 2016, meskipun pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020. “Penurunan investasi ini menunjukkan rendahnya efisiensi ekonomi Indonesia, yang tercermin dari Incremental Capital-Output Ratio (ICOR) yang lebih tinggi dibanding negara-negara lain,” tambahnya.

Imaduddin juga mengkritik praktik crony capitalism yang melibatkan konglomerat di sektor sumber daya alam (SDA) seperti batubara, kelapa sawit, dan nikel. Praktik ini, menurutnya, memicu konflik sosial terkait lahan yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, Emir Chairullah, Ph.D., memaparkan bahwa konflik lahan di Indonesia, khususnya untuk investasi baru, sering bermula dari tidak adanya kesepakatan dalam pembebasan lahan antara individu dan pemilik tanah adat. Selama periode 2014–2024, tercatat 2.710 konflik agraria dengan total luas lahan 5,88 juta hektar, di mana 78% di antaranya terjadi di lahan perkebunan.

Emir menyoroti bahwa akar konflik SDA ini terletak pada kebijakan pembangunan infrastruktur besar-besaran yang kerap mengabaikan aspek sosial dan lingkungan. Ia juga mencatat dampak negatif konflik tersebut terhadap kepercayaan investor dan stabilitas investasi di Indonesia.

Baca Juga: Pengamat INDEF: Logistik Energi, Kunci Ketahanan Energi dan Stabilitas Ekonomi

“Pemerintah dan perusahaan perlu mengadopsi pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan, seperti dialog melibatkan semua pihak, penggunaan teknologi ramah lingkungan, dan program CSR yang efektif,” sarannya.

Diskusi panel ini menegaskan perlunya pendekatan holistik dalam mengatasi konflik SDA dan mendorong investasi. Dengan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, Indonesia diharapkan mampu mencapai keseimbangan antara pembangunan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan.

Acara ini memberikan wawasan mendalam mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: