International Monetary Fund (IMF) memprediksi pertumbuhan ekonomi global akan tetap stabil dengan tren penurunan inflasi yang terus berlanjut. Namun, ketidakpastian kebijakan perdagangan global serta tantangan moneter diperkirakan masih membayangi pemulihan. Proyeksi tersebut akan diumumkan dalam pembaruan World Economic Outlook pada 17 Januari mendatang.
Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, menyampaikan optimisme atas kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS), meski menggarisbawahi bahwa kebijakan perdagangan yang direncanakan oleh pemerintahan Presiden terpilih Donald Trump menjadi tantangan besar.
“Ekonomi AS berjalan jauh lebih baik dari yang diperkirakan sebelumnya. Namun, ada ketidakpastian besar mengenai arah kebijakan perdagangan yang memengaruhi ekonomi global dan mendorong kenaikan suku bunga jangka panjang,” ujar Georgieva mengutip Reuters, Senin (13/1/2025).
Baca Juga: IMF Sebut Transformasi Ekonomi RI Luar Biasa, Airlangga Beri Respon Begini
Menurutnya, inflasi AS telah mendekati target Federal Reserve, didukung oleh pasar tenaga kerja yang stabil. Hal tersebut memungkinkan bank sentral untuk menunggu lebih banyak data ekonomi sebelum mengambil langkah terkait suku bunga.
"Secara keseluruhan, suku bunga diperkirakan akan tetap lebih tinggi untuk beberapa waktu," jelasnya.
Georgieva juga mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia menunjukkan tren yang berbeda di berbagai kawasan. Pertumbuhan di Eropa diproyeksikan melambat, sedangkan India menghadapi sedikit pelemahan. Di Brasil, inflasi diperkirakan meningkat, sementara China mengalami tekanan deflasi serta tantangan dalam permintaan domestik.
"Ketidakpastian besar dalam kebijakan perdagangan memberikan hambatan besar bagi ekonomi global, terutama bagi negara-negara yang terintegrasi dalam rantai pasokan global, termasuk kawasan Asia," ujarnya.
Baca Juga: Proyeksikan Tumbuh 5,1% di 2025, IMF Ungkap Kinerja Luar Biasa Ekonomi RI dalam Dua Dekade
Meski suku bunga tinggi diperlukan untuk meredam inflasi, ekonomi global belum memasuki resesi. IMF mencatat fenomena tidak biasa di mana suku bunga jangka panjang meningkat meskipun suku bunga jangka pendek cenderung menurun.
"Dolar AS yang kuat berpotensi meningkatkan biaya pendanaan bagi negara berkembang, terutama bagi negara berpenghasilan rendah," kata Georgieva seperti dikutip Reuters.
IMF memperingatkan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah rentan terhadap guncangan ekonomi baru meski telah melakukan berbagai reformasi.
Georgieva menegaskan perlunya reformasi kebijakan untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan setelah pengeluaran fiskal besar selama pandemi COVID-19.
“Negara-negara tidak bisa terus meminjam untuk keluar dari masalah ini. Mereka hanya bisa tumbuh untuk mengatasi tantangan tersebut,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa prospek pertumbuhan ekonomi global dalam jangka menengah berada di level terendah dalam beberapa dekade terakhir.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement