Wakil Ketua Umum Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryadi Sasmita, mengungkapkan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang sudah selama kurang lebih satu tahun perlu dievaluasi. Pasalnya, dia menilai jika hal tersebut tidak efektif dalam implementasinya kendati tujuannya baik untuk memperkuat cadangan devisa maupun menjaga fungsi stabilitas nilai tukar.
Bersama dengan Anggota Luar Biasa (ALB Asosiasi, Himpunan, Gabungan dan Ikatan), Kadin Indonesia menegaskan jika implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang DHE perlu segera direvisi.
Baca Juga: Pemerintah Bidik Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Kadin Siapkan Strategi Jitu
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama Anggota Luar Biasa (ALB Asosiasi, Himpunan, Gabungan, dan Ikatan) melihat bahwa implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) perlu untuk direvisi. Hal ini disampaikan oleh pelaku usaha nasional yang tergabung dalam Focus Group Discussion (FGD) mengenai Rencana Perpanjangan Kebijakan Devisa Hasil Ekspor.
Menurut Suryadi, pihaknya menilai bahwa PP Nomor 36 Tahun 2023 tersebut kurang dalam tahapan implementasi apabila tujuannya hanya untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Pasalnya, selama ini fakta memaparkan bahwa rupiah dalam setahun terakhir terus menghadapi pelemahan.
“Selain itu, sektor swasta juga terus menerus menghadapi tantangan terhadap arus kas operasional perusahaan di tengah ketidakpastian ekonomi global. Terlebih lagi, tidak seluruh perusahaan juga dapat memperoleh kemudahan akan kredit perbankan domestik sehingga mencari pendanaan dari luar negeri,” ujar Suryadi dalam keterangan rilisnya dikutip di Jakarta, Kamis (16/1/2025).
Adapun beberapa perwakilan dari asosiasi yang hadir dalam agenda tersebut adalah Indonesian Mining Association (IMA), Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI-ICMA), Rumah Sawit Indonesia, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), dan Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA).
Lebih lanjut, pihaknya menjelaskan bahwa ada berbagai perusahaan yang terimbas oleh kewajiban seperti yang tercantum dalam aturan PP Nomor 36 Tahun 2023 tentang DHE itu. Pasalnya, Suryadi menilai jika banyak perusahaan yang terganjal dalam mengatur operasional perusahaan serta kesehatan arus kas perusahaan.
Tak hanya terganjal serangkaian operasional tersebut, perusahaan juga dibebani dengan kewajiban membayar pajak, royalty, dan beban usaha lainnya sehingga kebijakan tersebut dirasa makin menekan margin keuntungan atau margin of profitability.
Pihaknya, bersama dengan para asosiasi dunia usaha berharap agar para eksportir nanti tidak diberatkan pundaknya dengan revisi kebijakan dan aturan terkait DHE lainnya. Khususnya, revisi tersebut juga mendesak ada usulan untuk menaikkan DHE dari yang semula 30% menjadi 50 – 75% dalam setahun. Hal tersebut tak pelak memberatkan arus kas perusahaan.
Apabila kebijakan tersebut dilakukan, jelas dia, pihaknya melihat jika kontribusi sektor swasta terhadap perekonomian nasional diprediksi bakal menurun yang mana dampaknya juga dirasakan oleh pemerintah.
“Oleh karena itu, kami berharap agar pemerintah mempertimbangkan pengecualian bagi eksportir yang telah memenuhi kewajiban pajak dan mengonversikan devisa ke dalam rupiah,” tuturnya.
Dalam keterangan yang sama, Ketua Komite Tetap Bidang Kebijakan Publik Kadin Indonesia, Chandra Wahjudi mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan rencana perubahan aturan DHE SDA dengan kondisi ekonomi global yang tengah gonjang-ganjing belum cukup stabil, serta dibayangi permintaan pasar yang masih lemah.
Sehingga, imbuhnya, dia berharap dengan adanya revisi tersebut, para eksportir bisa mendapatkan dukungan serta kemudahan ekspor yang bisa dijadikan sebagai stimulant.
Baca Juga: Ekosistem Bisnis Mesti Waspada, Deepfake Akan Jadi Ancaman Besar di 2025
“Kita mau menggenjot ekspor agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Namun, disisi lain eksportir dihadapkan dengan permasalahan yang serius dalam menjalankan kegiatan usaha, yaitu cash flow. Ini berpotensi memberikan dampak yang kontraproduktif terhadap target pertumbuhan ekonomi 8%,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement