Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ekonomi RI Masih Dibayangi Risiko Domestik, Ini Salah Satunya

Ekonomi RI Masih Dibayangi Risiko Domestik, Ini Salah Satunya Kredit Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ekonomi Indonesia di tahun 2025 masih dibayangi oleh berbagai risiko dan tantangan di dalam negeri. Antara lain seperti lemahnya daya beli hingga kebijakan Pemerintah yang membebani masyarakat.

Tercatat ada beberapa hal yang akan mengalami perubahan harga karena kenaikan maupun perubahan kebijakan, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% khususnya untuk barang mewah, penambahan Objek Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK), kenaikan iuran BPJS Kesehatan, potensi kenaikan harga gas Elpiji, hingga potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Ekonom BCA, David Sumual juga menyoroti pergeseran struktur tenaga kerja di Indonesia yang berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. "Kondisi saat ini menunjukkan adanya peralihan pekerja formal ke sektor informal, yang sebagian besar disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK)," ujarnya yang dikutip di Jakarta, Jumat (31/1/2025).

Baca Juga: Kurang Greget, Pemangkasan BI Rate Belum Efektif Pacu Pertumbuhan Ekonomi

Fenomena ini, katanya, diperburuk dengan stagnasi sektor-sektor yang bersifat padat karya, seperti industri tekstil, yang kini semakin tergantikan oleh sektor padat modal, seperti pertambangan. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja menjadi semakin sulit, yang berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat. 

Untuk mengatasi hal ini, David berharap pemerintah dapat lebih memfokuskan kebijakan dan investasi ke sektor padat karya. Dengan memberikan perhatian lebih pada industri yang banyak menyerap tenaga kerja, peluang kerja dapat meningkat, sehingga masyarakat memiliki penghasilan yang lebih stabil. Langkah ini tidak hanya membantu meningkatkan kesejahteraan pekerja, tetapi juga memperkuat daya beli secara keseluruhan. 

"Pemerintah dapat memfokuskan ke sektor sektor labor intensive, seperti dengan memberikan investasi ke sektor tersebut," ungkap David.

Terkait kebijakan perpajakan, kenaikan pajak memang berpotensi mempengaruhi daya beli. Namun, menurut David Sumual, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen lebih banyak ditujukan pada barang mewah, sehingga dampaknya terhadap masyarakat luas relatif terbatas. 

Selain itu, opsen pajak juga tidak terlalu signifikan dalam mengubah nilai akhir yang harus dibayarkan oleh masyarakat. "Pajak yang meningkat akan berdampak pada daya beli, tapi sejauh ini PPN 12 persen akhirnya untuk barang mewah, opsen tidak terlalu banyak mengubah nilai akhir yang harus dibayar," kata dia. 

Di sisi lain, skema iuran BPJS Kesehatan yang baru, termasuk skema Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), masih belum sepenuhnya jelas apakah akan mengalami kenaikan atau tidak. Di sisi lain, fokus pemerintah saat ini lebih mengarah pada peningkatan konsumsi masyarakat. 

Berbeda dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya yang lebih condong ke investasi, kebijakan saat ini lebih menitikberatkan pada penguatan daya beli dalam jangka pendek hingga menengah. Salah satu contohnya adalah program bantuan langsung, seperti bantuan sosial dan insentif konsumsi, yang dapat membantu mendorong belanja masyarakat. 

Baca Juga: Ini Capaian 100 Hari Kerja Bidang Ekonomi, Pemerintah Optimis Raih Target 8% di 2028

Jika nantinya ada kenaikan iuran dalam skema kelas BPJS Kesehatan yang baru, dampaknya terhadap daya beli belum tentu signifikan. Namun, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia adalah investasi asing. 

Menurut David Sumual, sulitnya investasi asing masuk ke Indonesia bukan hanya karena faktor ekonomi global, tetapi juga akibat kebijakan yang sering berubah serta birokrasi yang masih dianggap rumit. Hal ini membuat banyak investor memilih untuk beralih ke negara lain, seperti Vietnam, yang dianggap lebih stabil dan efisien dalam regulasi investasi. 

"Fokus pemerintah saat ini lebih ke konsumsi masyarakat. Sementara, pemerintahan sebelumnya lebih ke investasi, seperti makan bergizi gratis (MBG) , yang secara langsung dapat meningkatkan daya beli dalam jangka pendek-menengah," kata dia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Advertisement

Bagikan Artikel: