Kredit Foto: Ist
Warga di Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, kehilangan sumber air bersih akibat kerusakan lingkungan di Sungai Kungkilan.
Warga terus dirugikan, sementara perusahaan masih beroperasi tanpa konsekuensi yang jelas," pungkas Sahwanagi bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.
Ketua Yayasan Anak Padi, Sahwan, menyatakan bahwa masyarakat telah lama memprotes dampak negatif operasional tambang terhadap ekosistem sungai. Namun, hingga kini belum ada langkah nyata dari pemerintah untuk menindaklanjuti keluhan warga.
"Sungai Kungkilan dulu menjadi sumber air utama bagi warga untuk konsumsi dan irigasi sawah. Sekarang, sungai itu rusak akibat aktivitas PT BAU, membuat masyarakat kehilangan akses terhadap air bersih dan lahan pertanian menjadi tidak produktif," ujar Sahwan, Rabu (1/3).
Sahwan menuturkan bahwa aksi protes terhadap PT BAU sudah sering dilakukan oleh warga dari beberapa desa di Merapi Barat. Bahkan, pada 2022, Gubernur Sumatera Selatan sempat berjanji untuk mengevaluasi dan mencabut predikat proper biru PT BAU serta meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk menindaklanjutinya.
Namun, hingga saat ini, perusahaan tambang tersebut masih tetap beroperasi. "Kami pernah bertanya kepada pejabat DLH Lahat, tapi mereka beralasan itu bukan kewenangan mereka. Hingga kini, tidak ada transparansi dari pemerintah pusat maupun daerah terkait penghentian izin tambang PT BAU atau pencabutan proper biru mereka, meski terbukti merusak lingkungan," tegasnya.
Selain merusak lingkungan, aktivitas tambang PT BAU juga berdampak negatif terhadap perekonomian warga. Hilangnya sumber air bersih menyebabkan sawah dan lahan pertanian di kawasan Merapi Barat menjadi tidak produktif.
Di Desa Muara Maung, yang dilintasi Sungai Kungkilan, warga kini sering menghadapi bencana banjir saat musim hujan dan mengalami kekeringan serta debu tebal saat kemarau.
Sahwan juga mengungkapkan bahwa PT BAU diduga melakukan berbagai pelanggaran lain, termasuk menambang di luar wilayah izin IUP dan bahkan di kawasan hutan lindung.
emkab Lahat dan Kementerian ESDM pernah memberikan sanksi kepada perusahaan ini atas ketidakpatuhan terhadap peraturan lingkungan dan tata kelola pertambangan, termasuk sanksi pembekuan operasi dan denda.
Pada 24 Mei 2022, PT BAU dan PT SBP dilaporkan ke Pemprov Sumsel atas dugaan perubahan alur sungai tanpa izin, yang berpotensi melanggar peraturan lingkungan hidup.
Saat itu, Asisten I Setda Pemprov Sumsel, Rosidin, menyatakan bahwa Gubernur Sumsel akan tegas mencabut proper biru kedua perusahaan tersebut. Namun, hingga kini, janji tersebut belum direalisasikan, dan aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan masih terus berlangsung.
"Janji yang diberikan pemerintah hanya sebatas ucapan tanpa tindakan nyata. Warga terus dirugikan, sementara perusahaan masih beroperasi tanpa konsekuensi yang jelas," pungkas Sahwan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement