Jatuh Bangun Liem Seeng Tee Membangun Sampoerna, 112 Tahun Memproduksi Sigaret Kretek Tangan

PT Hanjaya Mandala Sampoerna (HM Sampoerna) adalah salah satu perusahaan rokok terbesar dan tertua di Indonesia. Produk-produknya telah dikenal oleh masyarakat Indonesia dari berbagai usia, bahkan dari beberapa generasi.
Kisah HM Sampoerna dimulai oleh Liem Seeng Tee, seorang imigran asal Fujian, Tiongkok, yang lahir pada tahun 1893. Bersama ayah dan saudara perempuannya, Liem berlayar ke Asia Tenggara untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Setelah tiba di Surabaya, Indonesia, sayangnya Liem kehilangan ayahnya enam bulan kemudian. Ia pun diadopsi oleh keluarga Tionghoa di Bojonegoro.
Pada usia 11 tahun, Liem memutuskan untuk mandiri dan bekerja di berbagai sektor, termasuk berdagang makanan di kereta api rute Surabaya-Jakarta. Pengalaman ini memberinya wawasan tentang perdagangan dan jaringan distribusi.
Pada tahun 1912, Liem menikah dengan Siem Tjiang Nio. Mereka bersama-sama membuka warung kelontong di Surabaya, menjual bahan makanan dan rokok lintingan buatan sendiri. Tak disangka, rokok tersebut cukup laku.
Melihat peluang besar pada industri rokok, pada tahun 1913, Liem mendirikan perusahaan dengan nama Handel Maatschappij Liem Seeng Tee. Produk pertama yang diluncurkan adalah Sigaret Kretek Tangan (SKT) dengan merek “Dji Sam Soe”, yang secara harfiah berarti “234”, yaitu angka yang diyakini membawa keberuntungan.
Usaha Liem tersebut berkembang pesat. Konon, kesuksesan tersebut terjadi setelah proyek pelebaran jalan di depan rumahnya yang meningkatkan aksesibilitas pelanggan. Namun, pada tahun 1916, musibah kebakaran menghancurkan warungnya.
Dengan tabungan istrinya, Liem membeli pabrik rokok yang hampir bangkrut dan melanjutkan produksi Dji Sam Soe. Pada tahun 1930, perusahaan resmi berganti nama menjadi NVBM Handel Maatschappij Sampoerna, dengan tujuan menghasilkan produk yang sempurna.
Pada tahun 1932, Liem memindahkan produksi ke bangunan seluas 1,5 hektar di kawasan Jembatan Merah, Surabaya, yang diberi nama Taman Sampoerna. Selain sebagai pabrik, bangunan ini juga difungsikan sebagai teater. Pada masa jayanya, pabrik ini mempekerjakan 1.300 karyawan dan memproduksi 3 juta batang rokok per minggu.
Namun, pendudukan Jepang pada tahun 1942 membawa tantangan besar. Liem ditangkap dan dipaksa kerja paksa, sementara pabriknya digunakan untuk memproduksi rokok bagi tentara Jepang tanpa kompensasi. Setelah Jepang kalah pada tahun 1945, Liem kembali dan membangun ulang bisnisnya.
Setelah wafatnya Liem pada tahun 1956, perusahaan mengalami masa sulit. Anak sulungnya, Liem Swie Hwa, meminta adiknya, Liem Swie Ling (Aga Sampoerna), untuk mengambil alih perusahaan. Di bawah kepemimpinan Aga, perusahaan kembali bangkit.
Pada tahun 1977, generasi ketiga, Putera Sampoerna, bergabung dan membawa inovasi dalam distribusi dan modernisasi perusahaan.
Pada tahun 1980, HM Sampoerna memiliki 7.000 karyawan dengan pabrik di Surabaya, Malang, dan Bali. Pada tahun 1990, perusahaan go public dengan melepas 15% sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya.
Tahun 2005 menjadi titik balik ketika Philip Morris International mengakuisisi HM Sampoerna dengan nilai sekitar US$ 5,2 miliar. Akuisisi ini membawa HM Sampoerna ke panggung internasional dan memperkuat posisinya di pasar rokok Indonesia. Pada tahun 2019, Sampoerna memimpin pasar rokok Indonesia dengan pangsa pasar sebesar 32,2%.
Saat ini, HM Sampoerna memiliki pabrik di berbagai kota di Indonesia, termasuk Surabaya, Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Karawang. Perjalanan panjang perusahaan ini mencerminkan dedikasi, inovasi, dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan zaman. Warisan Liem Seeng Tee tetap hidup, menginspirasi generasi penerus dalam industri rokok dan bisnis pada umumnya.
Pada tahun 2024, PT HM Sampoerna Tbk meresmikan pabrik baru di Blitar, Jawa Timur dan Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement