TKA Ilegal Rugikan Miliaran Dolar, Ketua Umum KSPSI Jumhur Hidayat: Pengawasan Harus Rutin dan Serius

Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, menyatakan bahwa maraknya tenaga kerja asing (TKA) ilegal telah menimbulkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat Indonesia.
Menurutnya, pengawasan terhadap TKA sebenarnya dapat dilakukan dengan mudah asalkan ada kemauan dan keseriusan dari pemerintah.
“Pengawasan ini tidak sulit. Cukup dengan mendatangi perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan orang asing dan memeriksa dokumen mereka. Tim imigrasi bisa menyelesaikannya dengan cepat,” ujar Jumhur dalam wawancara dengan wartawan di Jakarta, Selasa, 19 Maret 2025.
Jumhur menegaskan bahwa pengecekan dokumen TKA seharusnya dilakukan secara rutin, bahkan setiap hari, mengingat kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar. Setiap TKA diwajibkan membayar setoran bulanan sebesar 100 dolar AS, atau setara dengan 1.200 dolar AS per tahun.
“Jika ribuan TKA bekerja tanpa dokumen resmi, kerugian negara bisa mencapai jutaan dolar AS. Apalagi jika mereka bekerja selama puluhan tahun tanpa membayar pajak,” tegasnya.
Menurut Jumhur, pengawasan TKA merupakan tanggung jawab utama imigrasi, karena instansi ini memiliki data orang asing yang masuk ke Indonesia. Setelah itu, imigrasi dapat berkoordinasi dengan dinas tenaga kerja setempat.
“Imigrasi seharusnya mengetahui tujuan kedatangan orang asing dan perusahaan tempat mereka bekerja. Misalnya, jika banyak orang asing bekerja di Morowali atau daerah pertambangan, imigrasi bisa langsung berkoordinasi dengan dinas tenaga kerja untuk melakukan sweeping,” jelasnya.
Namun, Jumhur mengakui bahwa pengawas tenaga kerja sering menghadapi kendala di lapangan, seperti kesulitan memasuki perusahaan yang diduga mempekerjakan TKA ilegal.
“Mereka kerap dihalangi oleh satpam, padahal tujuan mereka hanya untuk melakukan pengecekan. Tanpa izin atau perjanjian sebelumnya, pengawas tidak diizinkan masuk,” ujarnya.
Jumhur juga menanggapi kasus TKA berinisial TCL yang diduga bekerja tanpa izin dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Menurutnya, setiap TKA wajib memiliki Rencana Penempatan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018.
“Saat ini, perusahaan justru lebih mudah mengajukan RPTKA. Berapa pun jumlah TKA yang diajukan dianggap sebagai bagian dari izin, dan ini keliru,” kritiknya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pengacara Saleh Arifin Nasution telah melaporkan TCL, warga Singapura, ke Kemenaker. TCL diduga bekerja di tiga perusahaan besar di Indonesia sejak 2016 tanpa izin ketenagakerjaan.
“Kami telah mengirim surat pengaduan ke Kemenaker. Saat ini, kasus ini sedang ditangani oleh pengawas tenaga kerja di Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kami menunggu hasil investigasi,” kata Saleh.
Jumhur menambahkan, sebelumnya, RPTKA yang diajukan perusahaan harus melalui kajian menteri untuk menentukan jumlah TKA yang layak direalisasikan.
“Jika dari 50 TKA yang diajukan, hanya 20 yang disetujui, sisanya harus diisi oleh tenaga kerja lokal. Setelah itu, baru diterbitkan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA),” paparnya.
Banyak Aturan yang Memudahkan TKA, Merugikan Pekerja Lokal
Jumhur Hidayat menegaskan bahwa pekerjaan yang dapat dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia seharusnya menjadi hak konstitusional warga negara.
“Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga Indonesia atas pekerjaan yang layak. Jika pekerjaan tersebut justru diberikan kepada tenaga kerja asing (TKA), itu merupakan pelanggaran konstitusional,” ujarnya dalam wawancara dengan wartawan di Jakarta, Selasa, 18 Maret 2025.
Menurut Jumhur, jika orang asing datang sebagai investor, mereka seharusnya fokus pada perluasan modal dan dapat menempati posisi strategis seperti komisaris atau direktur.
“Dulu, aturan ketenagakerjaan asing mengutamakan posisi-posisi ahli dan program alih teknologi kepada pekerja Indonesia. Namun, setelah maraknya investasi dari Cina, aturan tersebut banyak berubah,” tegasnya.
Sebagai contoh, Jumhur menyebutkan bahwa sebelumnya TKA diwajibkan menguasai bahasa Indonesia dan hanya boleh menempati jabatan tertentu.
“Sekarang, justru pekerja lokal yang harus belajar bahasa Cina. Simbol-simbol di area kerja pun berubah menggunakan bahasa Cina karena peraturan yang lama dihapus,” ujarnya.
Jumhur juga menyoroti perubahan aturan mengenai rasio ketenagakerjaan. Dulu, berlaku ketentuan rasio 1:10, di mana maksimal 10% dari total tenaga kerja boleh diisi oleh TKA.
“Artinya, jika ada 1.000 pekerja, hanya 100 yang boleh berasal dari asing, dan 900 lainnya harus tenaga kerja Indonesia. Namun, aturan ini dihapus. Sekarang, komposisinya bisa terbalik: 90% TKA dan hanya 10% tenaga kerja lokal,” jelasnya.
Ia memberikan contoh nyata pada proyek Kereta Api Cepat Indonesia-Cina, di mana dari 1.300 pekerja, sekitar 950 di antaranya adalah TKA dari Cina.
“Kondisi ini sangat tidak ramah bagi iklim ketenagakerjaan di Indonesia. Peraturan baru justru membenarkan dominasi tenaga kerja asing,” tandasnya.
Jumhur mengkritik praktik diskriminasi upah yang terjadi di banyak perusahaan, terutama yang berinvestasi dari Cina. “Gaji TKA bisa 3 hingga 5 kali lipat lebih tinggi daripada pekerja lokal. Ini adalah bentuk diskriminasi yang tidak boleh terjadi,” tegasnya.
Dampak lain yang ditimbulkan adalah minimnya penyerapan tenaga kerja lokal. “Kita hanya menjadi penonton di tanah sendiri, sementara orang asing mengeruk kekayaan alam Indonesia,” ujarnya. Dari sisi ekonomi, Jumhur menjelaskan bahwa investasi seharusnya memberikan return value added, di mana dana yang terserap melalui tenaga kerja lokal dapat berputar di dalam negeri.
“Namun, jika mayoritas tenaga kerja berasal dari negara asal investasi, uang miliaran rupiah dari gaji mereka justru dibawa ke luar negeri,” paparnya.
Jumhur menilai bahwa kebijakan ketenagakerjaan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo justru menjadi malapetaka bagi pekerja lokal. “Regulasi lama harus ditegakkan kembali. Aturan baru saat ini tidak mendatangkan investasi yang signifikan, tetapi justru merugikan tenaga kerja Indonesia,” tukasnya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan yang memudahkan TKA dan mengabaikan hak-hak pekerja lokal. “Jika tidak, kita akan terus menjadi penonton di negeri sendiri, sementara kekayaan alam dan peluang kerja diambil alih oleh pihak asing,” pungkas Jumhur.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement