Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Warisan Kolonial Masih Hidup, Definisi 'Hutan Negara' Dinilai Timbulkan Konflik Agraria

Warisan Kolonial Masih Hidup, Definisi 'Hutan Negara' Dinilai Timbulkan Konflik Agraria Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Bandung -

Negara dinilai terlalu dominan dalam menentukan apa yang disebut sebagai hutan, tanpa mempertimbangkan kenyataan sosial yang hidup di tengah masyarakat. Hal ini menjadi akar dari konflik agraria yang terus terjadi di berbagai daerah.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mengkritik pendekatan negara yang cenderung mempertahankan warisan kolonial dalam melihat kawasan hutan. Dalam pandangan pemerintah, hutan dianggap lahan kosong yang bisa diubah sesuai kepentingan.

“Di Nusantara ini, hutan bisa berubah makna tergantung siapa yang berkuasa. Bagi rakyat, hutan adalah kampung. Bagi negara, hutan bisa diubah jadi proyek strategis nasional,” ujar Iskandar, Selasa (8/4/2025)

Iskandar menyoroti kasus-kasus di tiga daerah sebagai contoh bagaimana tafsir negara soal hutan bisa menghapus hak hidup masyarakat.

Di Rempang, Kepulauan Riau, aparat bersenjata digerakkan untuk menggusur masyarakat adat Melayu dan Suku Laut dari kampung tua mereka, hanya karena kawasan tersebut disebut masuk wilayah hutan produksi.

Nasib serupa dialami warga Wawonii, Sulawesi Tenggara. Meski telah mengelola lahan sejak lama, keberadaan tambang tetap dilegalkan karena kawasan itu disebut hutan lindung oleh negara. Penolakan dari warga dibalas dengan kriminalisasi.

Baca Juga: Menteri P2MI Beri Penghargaan ke Pekerja Migran di Korsel yang Selamatkan Lansia dari Kebakaran Hutan

Sementara di Merauke, Papua, proyek food estate menyerobot hutan adat milik Suku Marind. Karena wilayah itu tidak tercatat secara resmi sebagai hutan adat, negara menganggapnya sah untuk digarap.

“Yang disebut ‘hutan lindung’ itu, nyatanya sudah lama jadi kebun rakyat,” ungkap Iskandar.

Iskandar mengungkap bahwa definisi hutan yang dianut hingga kini berakar dari kebijakan kolonial Boschordonnantie 1920 yang menetapkan semua hutan sebagai milik negara. Kebijakan itu tidak pernah mengakui keberadaan masyarakat adat atau nilai sosial-ekologis dari kawasan hutan.

“Di titik itu, negara mulai menyamaratakan bahwa semua hutan adalah tanah kosong. Ini jebakan definisi yang terus diwarisi,” katanya.

Pasca-kemerdekaan, paradigma ini tetap berlanjut lewat UU No. 5 Tahun 1967 yang menegaskan seluruh kawasan hutan sebagai milik negara. UU No. 41 Tahun 1999 memang mencoba menambahkan dimensi ekosistem, tapi kenyataannya peta kehutanan tetap jadi penentu utama.

Ketimpangan juga terlihat dalam pengakuan vegetasi buatan. Jati yang ditanam secara monokultur sejak era Belanda tetap diakui sebagai hutan budidaya. Sebaliknya, sawit rakyat yang memiliki manfaat ekonomi dan ekologi justru tak diakui sebagai bagian dari kawasan hutan.

“Sawit bukan hutan, tapi jati bisa? Itu warisan kolonial yang diskriminatif,” tegasnya.

Iskandar menegaskan, jati dianggap legal karena berada di bawah pengelolaan Perhutani, sementara sawit rakyat disebut ilegal karena tidak tercantum dalam peta resmi. Padahal kontribusinya terhadap penghidupan masyarakat sangat nyata.

Sementara itu, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 sudah menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Namun tanpa Surat Keputusan (SK) dari KLHK, masyarakat adat tetap tak mendapat perlindungan hukum.

“Selama definisi hutan hanya berdasar hukum negara dan bukan realitas sosial, konflik tak akan pernah selesai,” tegas Iskandar.

Situasi makin sulit sejak disahkannya UU Cipta Kerja 2020, yang menurutnya semakin mempermudah pelepasan kawasan hutan untuk proyek-proyek besar tanpa memedulikan keberadaan komunitas yang tinggal di dalamnya.

Baca Juga: IAW Soroti Masalah Sawit Ilegal: Mampukah Indonesia Stop 'Lingkaran Dosa' Alih Fungsi Hutan?

Melihat persoalan yang kompleks dan berlarut-larut, IAW mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk memimpin perubahan besar dalam tata kelola kehutanan.

Iskandar menyebut langkah pertama yang bisa dilakukan adalah audit ulang terhadap status hutan jati peninggalan kolonial Belanda, terutama dari sisi manfaat ekologis dan sosial.

IAW juga mendorong agar sawit rakyat dilegalkan sebagai bagian dari skema kehutanan sosial berbasis agroforestri. Hal ini menuntut revisi terhadap UU No. 41/1999 agar lebih inklusif terhadap vegetasi buatan yang terbukti memberi nilai ekonomi dan ekologi.

“Presiden Prabowo Subianto bisa memulai revolusi terhadap definisi hutan di negeri ini. Sudah waktunya hukum berpihak pada ekosistem dan rakyat, bukan hanya sekadar pada status administrasi,” pungkasnya 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: