
Kesepakatan antara Amerika Serikat (AS) dan China untuk menurunkan tarif dagang masing-masing negara menjadi titik terang bagi ekonomi global sekaligus angin segar bagi perekonomian Indonesia.
Pemerintahan Donald Trump setuju menurunkan tarif impor AS terhadap barang-barang China dari semula 145% menjadi 30%. Di sisi lain, China juga menurunkan tarif impornya terhadap barang-barang asal AS dari 125% menjadi 10%. Kesepakatan ini berlaku selama 90 hari mulai Rabu (14/5/2025).
Pengamat pasar modal dan keuangan, Ibrahim Assuaibi, menilai kesepakatan ini membawa prospek positif bagi stabilitas ekonomi Indonesia. Menurutnya, tenggat waktu 90 hari memberi ruang perbaikan kondisi domestik.
Baca Juga: Alasan Trump Memutuskan Pangkas Tarif Impor Barang China
“Nah itu kan berlaku nanti 90 hari kan. Nah sehingga ada waktu 3 bulan. Nah dalam waktu 3 bulan, sebelum waktu 90 hari berjalan, ini ya pasti akan sedikit lebih baik lah untuk kondisi perekonomi dalam negeri,” kata Ibrahim kepada Warta Ekonomi, Jakarta, Selasa (13/5/2025).
Kendati demikian, Ibrahim mengingatkan bahwa tantangan ekonomi nasional belum sepenuhnya mereda. Ia menyoroti dampak lanjutan dari perang dagang yang menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah dan melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya mencapai 4,87%, jauh di bawah target pemerintah sebesar 5%.
“Nah permasalahan utama itu sebenarnya kan tentang masalah pertumbuhan ekonomi yang ada di Indonesia yang kita tahu pertumbuhan ekonomi di Indonesia itu kan kemarin diluar dugaan kan tidak 5 persen kan,” imbuhnya.
Baca Juga: Trump Soal Negosiasi Tarif China-AS: Tak Akan Naik Lebih dari 145%
Ibrahim juga menilai tekanan terhadap nilai tukar rupiah menjadi tanggung jawab penting Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter. Ia mengatakan BI secara aktif melakukan intervensi di pasar valuta asing, khususnya di pasar EDFinternasional, guna menjaga stabilitas rupiah.
“Rupiah ini memang tanggung jawab dari Bank Indonesia sebagai bank sentral. Terus melakukan intervensi, kebanyakan Bank Indonesia melakukan intervensi itu di pasar EDF, di pasar internasional,” ujarnya.
Di sisi lain, ia menyoroti lemahnya belanja pemerintah dan penurunan bantuan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang berimbas pada turunnya daya beli masyarakat. Situasi ini, menurutnya, juga berkontribusi terhadap peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor.
Baca Juga: Boeing Selamat, China Akhirnya Mencabut Larangan Impor Pesawat
Baca Juga: Zelenskiy Tantang Putin Hadiri Langsung Negosiasi di Turki
“Karena harus ingat bahwa daya beli masyarakat itu tidak jauh dari bantuan pemerintah berupa bansos maupun berupa BLT ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah,” tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cita Auliana
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement