
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai stabilitas sektor jasa keuangan nasional tetap terjaga di tengah dinamika tensi perdagangan dan ketegangan geopolitik global yang masih berlangsung.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan bahwa kesepakatan dagang permanen antara Amerika Serikat dan Inggris pada 8 Mei 2025 menjadi katalis positif bagi pasar global. Kesepakatan ini merupakan perjanjian dagang permanen pertama yang dicapai AS setelah penundaan penerapan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara.
“Pelaku pasar menyambut baik kesepakatan tersebut sehingga mendorong penguatan pasar keuangan global, diikuti juga penurunan volatilitas dan masuknya aliran modal (capital inflow) ke negara-negara berkembang,” kata Mahendra dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) Mei 2025 di Jakarta, Senin (2/6/2025).
Baca Juga: Naik 8,88%, OJK Catat Kredit Perbankan Tembus Rp7.960,94 triliun di April 2025
Mahendra juga menyoroti bahwa kesepakatan dagang sementara antara Amerika Serikat dan Tiongkok pada 12 Mei 2025 yang berlaku selama 90 hari turut meredakan tensi perdagangan global.
Kendati begitu, OJK tetap mewaspadai eskalasi konflik geopolitik di sejumlah kawasan. “Meningkatnya tensi geopolitik di beberapa wilayah dunia relatif masih dapat terlokalisasi dan tidak memberikan guncangan besar terhadap pasar keuangan global,” jelasnya.
Mahendra mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi global pada kuartal I-2025 menunjukkan tren pelemahan. Hal ini disertai dengan penurunan inflasi yang mencerminkan lemahnya permintaan global. Menanggapi situasi tersebut, sejumlah bank sentral global mulai mengadopsi kebijakan moneter yang lebih akomodatif, seperti pemangkasan suku bunga, penyuntikan likuiditas, hingga penurunan reserve requirement.
Baca Juga: Pasar Modal Indonesia Jadi incaran Investor Asing, IHSG Jadi yang Paling Perkasa di Kawasan
“Pasar telah merevisi ekspektasi penurunan Fed Fund Rate dari sebelumnya 3–4 kali menjadi hanya 2 kali di tahun 2025, dengan penurunan pertama diperkirakan mundur ke bulan September,” ungkap Mahendra.
Pasar juga mencermati rencana pengesahan RUU “One Big Beautiful Bill”, sebuah inisiatif Presiden AS Donald Trump yang diperkirakan akan memperbesar defisit fiskal AS. Sebagai dampaknya, lembaga pemeringkat utang negara, Woodys, dilaporkan telah menurunkan rating kredit Amerika Serikat.
Sementara itu, kondisi ekonomi domestik disebut tetap tangguh. Konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi dengan andil 4,89%, sedangkan inflasi tetap terkendali di level 1,95%, masih dalam kisaran target Bank Indonesia.
Indikator makro lainnya juga menunjukkan ketahanan, seperti surplus neraca perdagangan yang masih berlanjut, menyempitnya defisit transaksi berjalan menjadi hanya 0,05% dari PDB (turun dari 0,87%), serta posisi cadangan devisa yang tetap stabil di level tinggi.
“Di tengah perlambatan ekonomi global, suku bunga tinggi, dan masih berlangsungnya perundingan dagang AS dengan sejumlah mitra utama, kita perlu mencermati dampaknya terhadap kinerja debitur dan sektor jasa keuangan nasional,” pungkas Mahendra.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cita Auliana
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement