Kredit Foto: Istimewa
Pengelolaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan Badan Gizi Nasional (BGN) dinilai membutuhkan pembenahan sistemik sejak dini agar tidak berubah menjadi beban hukum bagi pejabatnya sendiri. Dengan skala pelayanan mencapai 82 juta penerima manfaat dan aliran anggaran puluhan triliun rupiah, BGN dihadapkan pada tantangan tata kelola yang jauh melampaui urusan distribusi makanan.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mengatakan MBG sebagai “Dapur Raksasa Negara” yang hanya bisa berjalan aman jika seluruh rantai operasionalnya dikunci dengan sistem pengendalian yang kuat. Menurutnya, audit negara akan menilai bukan semata niat baik program, melainkan ketahanan sistem yang menopangnya.
"Itulah musik latar yang suatu hari nanti akan dimainkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. LHP itu bukan sekadar dokumen, ia adalah peta yang bisa menuntun KPK atau Kejaksaan ke ruang kerja pejabat," jelas Iskandar, Jumat (26/12/2025).
Baca Juga: Ekonom Nilai MBG Tak Picu Kenaikan Harga Pangan
Iskandar menegaskan bahwa secara hukum, keberadaan BGN tidak memiliki persoalan. Lembaga ini dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 yang ditandatangani pada akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan kemudian dijalankan dengan dukungan politik serta alokasi anggaran besar pada era Presiden Prabowo Subianto. Justru karena posisinya langsung berada di bawah Presiden, tingkat akuntabilitas BGN menjadi jauh lebih tinggi.
"Secara hukum, ini bersih. Tidak ada polemik. Tapi audit negara tak pernah peduli siapa yang meresmikan atau melanjutkan. Pertanyaan auditor hanya satu, apakah lembaga ini patuh pada akte kelahirannya sendiri?" ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa kegagalan program berskala besar seperti MBG tidak selalu berangkat dari niat koruptif, melainkan sering kali lahir dari sistem yang tidak siap menghadapi kompleksitas operasional.
Berdasarkan pemetaan IAW, terdapat sedikitnya lima rantai kritis yang berpotensi menjadi sumber temuan audit BPK.
Rantai pertama berkaitan dengan pengelolaan anggaran. Aliran dana APBN dalam jumlah sangat besar mengalir dari pemerintah pusat ke BGN, kemudian diteruskan ke puluhan ribu rekening Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Dalam kondisi tersebut, auditor akan menelusuri validitas data 82 juta penerima manfaat, potensi penerima fiktif, serta mekanisme pembayaran yang masih memungkinkan penggunaan uang tunai.
"Di mana ada uang tunai dalam jumlah besar dan pengawasan longgar, maka di situ ada celah. BPK tentu akan mencari pola anomali, seperti: dapur dengan jumlah penerima fantastis di daerah terpencil, atau laporan pembelian yang harganya konsisten di atas pasar," kata Iskandar.
Rantai kedua menyangkut pemasok bahan baku. Hingga saat ini, menurut Iskandar, belum tersedia sistem pemasok terdaftar nasional yang terbuka untuk publik, termasuk bagi penyuplai susu, telur, dan daging. Lemahnya transparansi serta keterlacakan bahan baku akan menyulitkan penanganan apabila terjadi kasus keracunan pangan.
"Auditor BPK modern tentu tidak akan puas hanya dengan hanya data faktur. Mereka tentu akan meminta Sertifikat Analisis (COA) untuk setiap kiriman dan melacak pergerakan barang dari pabrik hingga piring!" tegasnya.
Rantai ketiga berada pada belanja internal BGN. Selain belanja bahan makanan, auditor juga akan memeriksa pengeluaran operasional lembaga, mulai dari pengadaan barang dan jasa kantor, perjalanan dinas untuk koordinasi nasional, hingga belanja sosialisasi dan kampanye.
"Apakah setiap rupiah di sini memberikan nilai tambah, atau hanya mengisi celana kebesaran lembaga baru? Itu menjadi sesuatu "tantangan" bagi auditor. Pengadaan mobil dinas, renovasi kantor, atau jasa konsultan yang harganya tak wajar akan menjadi lampu merah terang!" jelas Iskandar.
Rantai keempat berkaitan dengan pengadaan massal bahan pokok, yang disebut Iskandar sebagai wilayah dengan risiko tertinggi. Pola yang lazim dicari auditor dan aparat penegak hukum meliputi pemecahan paket pengadaan, spesifikasi teknis yang diarahkan kepada pemasok tertentu, hingga adendum kontrak yang menaikkan nilai tanpa dasar justifikasi yang kuat.
Sementara itu, rantai kelima terletak pada proses pendirian dan pendaftaran dapur MBG. Idealnya, proses ini mencakup verifikasi berbasis sistem teknologi informasi, pengecekan lapangan, validasi lokasi, serta pelatihan bagi penjamah makanan. Namun jika hanya mengandalkan verifikasi administratif, risiko lahirnya dapur fiktif atau dapur berbasis rekomendasi oknum pejabat menjadi sangat besar.
"BPK tentu akan mengambil sampel acak dan datang langsung. Juga menggunakan metode IT. Jika ada selisih antara data di sistem dengan kondisi di lapangan, itulah awal dari temuan yang mematikan!" ujarnya.
Iskandar menambahkan bahwa setiap jabatan di lingkungan BGN membawa konsekuensi hukum masing-masing. Kepala BGN bertanggung jawab atas sistem pengendalian intern secara keseluruhan, sementara deputi bidang pengadaan, keamanan pangan, perencanaan dan anggaran, hingga inspektorat internal akan diperiksa sesuai fungsi dan kewenangannya.
Ia mengingatkan bahwa dalam sistem hukum saat ini, temuan administratif BPK dapat dengan cepat berkembang menjadi perkara pidana.
"UU Tipikor memiliki pasal "kerugian keuangan negara" yang jaringannya luas. Pemborosan akibat sistem yang buruk, pengadaan yang tidak efisien, atau kelalaian yang menyebabkan kerusakan, bisa dikategorikan sebagai kerugian negara!" ujar Iskandar.
Menurut IAW, waktu yang dimiliki BGN untuk melakukan pembenahan sangat terbatas. Pilihannya adalah melakukan audit internal serta perbaikan sistem secara terbuka sebelum pemeriksaan BPK, atau membiarkan seluruh kelemahan sistem diuji dalam LHP 2026 dengan konsekuensi hukum yang serius.
"Di era kekinian, BPK akan datang dengan senjata baru, yakni data analytics, audit forensik digital, dan kemampuan melacak ujung ke ujung. Mereka tak lagi hanya memeriksa kuitansi, tapi menganalisis pola, geolokasi, dan jejak digital!" jelasnya.
Iskandar menegaskan bahwa keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari penyaluran bantuan, melainkan dari kemampuan negara mengelola sistem pangan nasional secara akuntabel. Ia meminta agar BGN tidak berhenti pada fungsi distribusi, tetapi membangun sistem logistik pangan yang presisi dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Yang dipertaruhkan bukan cuma jabatan satu dua orang, tapi piring-piring makan 82 juta anak bangsa, dan kepercayaan terakhir rakyat bahwa negara mampu mengurus mereka dengan baik dan jujur!" pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement