Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kemampuan Kontrol Laut Nusantara Jadi Faktor Terpenting Hadapi Tantangan Geopolitik di LCS

Kemampuan Kontrol Laut Nusantara Jadi Faktor Terpenting Hadapi Tantangan Geopolitik di LCS Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Hukum Laut Internasional (UNCLOS), kode etik perilaku di Laut China Selatan (LCS), serta berbagai inisiatif yang dilakukan Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dianggap sebagai landasan yang relevan bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN dalam merespons diplomasi maritim Republik Rakyat China (RRC). 

Sementara itu, perbaikan dan penegakan hukum serta peraturan-peraturan dalam negeri, khususnya yang berkaitan dengan aspek kelautan, perlu dilakukan dalam menghadapi situasi geopolitik yang akhir-akhir ini berkembang di kawasan Asia Tenggara. 

Potensi ketegangan yang mungkin terjadi akibat upaya perluasan pengaruh RRC dan kehadiran kekuatan-kekuatan luar kawasan akan dapat dihadapi bila Indonesia meningkatkan kapasistasnya sehingga mampu mengontrol wilayah maritim kepulauan Nusantara, seperti yang pernah berlangsung pada masa keemasan peradaban Indonesia. 

Gagasan di atas merupakan intisari dari diskusi yang melibatkan pemerhati, praktisi, dan akademisi, yang berjudul “Diplomasi Maritim China di Asia Tenggara: Pandangan dari Indonesia,” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis (19/6).

Baca Juga: Peringatkan Trump, China dan Rusia Kompak Membela Iran

Ketua FSI, Johanes Herlijanto, mengatakan diskusi tersebut merupakan upaya untuk memahami apa yang RRC ingin capai melalui diplomasi maritimnya di Asia Tenggara akhir-akhir ini, dan bagaimana Indonesia sebaiknya merespons terhadap siasat yang dilaksanakan oleh RRC itu. 

Menurut pemerhati China dari Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, upaya untuk memahami tujuan diplomasi RRC menjadi sangat penting karena negara itu diduga berupaya untuk mendapatkan kembali apa yang mereka anggap sebagai teritorial mereka yang hilang. 

“Salah satu yang mereka anggap sebagai teritori mereka adalah kawasan LCS, yang juga mencakup Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna,” tuturnya. 

Klaim kewilayahan RRC tersebut ditandai dengan sembilan garis putus-putus, yang belakangan berkembang menjadi sepuluh. Pemerhati intelijen dan keamanan, Laksda TNI Purnawirawan Soleman B Ponto, menekankan pentingnya upaya ASEAN dalam menjaga stabilitas kawasan. 

Menurutnya, ASEAN sudah mengembangkan berbagai mekanisme untuk menjaga stabilitas regional di Asia Tenggara. Salah satunya adalah upaya untuk menghasilkan kesepakatan tata perilaku guna menghindari konflik di perairan sengketa LCS (dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai Code of Conduct atau COC).

Baca Juga: AS Desak Vietnam Lepas dari Teknologi China

Sebelumnya, ASEAN juga sudah menerapkan Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), sebuah traktat yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. 

Pada 22 Juli 1992, para menteri luar negeri negara-negara ASEAN juga sudah menandatangani Deklarasi ASEAN tentang LCS di Manila, Filipina, sebagai upaya menjaga perdamaian dan stabilitas di LCS. 

Selain itu, pada November 2002, ASEAN bersama sama dengan RRC juga mengeluarkan Deklarasi Tata Perilaku dari Berbagai Pihak di LCS (Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea), yang ditandatangani di Phnom Penh, Kamboja.

Deklarasi ini berisi komitmen dari negara-negara anggota ASEAN dan RRC untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati kebebasan pelayaran (freedom of navigation) di LCS, menyelesaikan sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik. 

Meski demikian, menurut Laksda Ponto, masih terdapat berbagai permasalahan di LCS. Dalam pandangannya, salah satu faktor yang mempengaruhi permasalahan keamanan di kawasan tersebut adalah sikap RRC yang berhadap-hadapan dengan kekuatan besar lain, khususnya AS. 

Pada satu sisi, RRC menganggap kehadiran AS mengakibatkan instabilitas di LCS. Pada sisi lain, dalam pandangan AS, klaim RRC yang ilegal itu di RRC harus dilawan dengan kebebasan navigasi dan operasi (FONOPS).  

Sementara itu, klaim RRC terhadap LCS yang berdasarkan sembilan garis putus-putus yang bertumpang tindih dengan ZEE sebagian negara-negara ASEAN juga berpotensi menimbulkan masalah.

“Problemnya, nelayan Indonesia yang menangkap ikan di wilayah sengketa bisa ditangkap oleh Penjaga Pantai China,” tutur mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI tersebut. 

Baca Juga: Selundupkan Patogen Berbahaya, Dua Warga China Bikin Geger Amerika Serikat

Laksda TNI Purn Ponto menggarisbawahi sikap Indonesia yang terus disampaikan di publik. Berbeda baik dengan RRC maupun pihak AS, Indonesia bersama ASEAN selalu menyambut baik dukungan terhadap UNCLOS, serta menolak proyeksi kekuatan berdasarkan rivalitas.

Indonesia juga mendukung adanya negosiasi dalam hal sengketa, tetapi mengambil sikap non negosiasi terhadap sembilan garis putus-putus, ketika bertabrakan dengan UNCLOS. 

Namun, baginya, hal yang juga sangat penting bagi Indonesia dalam menghadapi perkembangan ketegangan di LCS adalah dengan membenahi sistem hukum di Indonesia, serta menerapkannya dengan benar. 

“Bila sistem hukum tak diterapkan dengan benar, maka harga secangkir kopi akan menjadi mahal. Jadi mari benahi sistem hukum dan terapkan dengan baik, agar saya bisa meminum secangkir kopi dengan harga yang tidak naik,” tambah dia 

Sementara itu, Laksamana Muda (Laksda) TNI Kresno Buntoro, pakar hukum berlatar belakang militer yang hadir dalam diskusi dalam kapasistas pribadi berpandangan bahwa konflik yang terjadi di LCS merupakan masalah lama yang belakang kembali mencuat ke permukaan. 

Ia mencontohkan, LCS dengan sembilan garis putus putus milik RRC sebenarnya telah dipublikasikan secara resmi pada 2009. Perwira tinggi TNI AL tersebut menegaskan bahwa dalam peta tidak terdapat tanggal dan datum. Tidak terdapat pula penggunaan garis pangkal dan klaim pulau atau laut yang lain. Selain itu, tidak ada penjelasan apakah garis-garis yang putus-putus tersebut harus dihubungkan. 

Namun meski tak jelas, garis putus-putus yang menandai klaim China tersebut membawa dampak bagi negara-negara di Asia Tenggara, khususnya negara-negara kepulauan. Salah satu contoh adalah munculnya Undang Undang Penjaga Pantai RRC pada tahun 2021. 

Menurut Laksda Kresno Buntoro, berdasarkan undang-undang tahun 2021 tersebut, area operasi Penjaga Pantai RRC (CCG) dapat mencapai ke wilayah yang secara unilateral diklaim oleh negara itu. Mereka juga diperbolehkan membawa senjata, sehingga mengundang pertanyaan dan kekhawatiran dari negara-negara lain. 

“Ini mengundang pertanyaan, seperti bagaimana rules of engagement (pedoman penggunaan kekuatan militer) dari peraturan tersebut?” turut pria yang kini menjadi staf khusus Kepala Staf TNI AL (KSAL) itu. 

Meski demikian, menurutnya perkembangan yang terjadi di LCS akhir-akhir ini tak perlu membuat masyarakat terlalu waswas. Dalam pandangannya, terdapat berbagai solusi yang bisa diupayakan.

Baca Juga: Donald Trump Sinyalkan Bakal Adanya Kesepakatan Antara Iran dan Israel

Selain dalam aspek legal yang dapat berupa negosiasi ataupun arbitrasi internasional, terdapat pula aspek solusi lain, antara lain dengan membangun forum bersama sehingga terjadi komunikasi yang baik di antara para pihak, serta dengan menggalakan pertukaran dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. 

Kresno Buntoro menyiratkan pandangan bahwa peningkatan kapasitas Indonesia merupakan faktor penting dalam berhadapan dengan China dan kekuatan-kekuatan lain di kawasan Asia Tenggara. “Baik upaya dominasi dari China maupun dari Amerika Serikat (AS) akan dapat kita kurangi bila kita bisa mengontrol Nusantara,” pungkasnya. 

Pandangan yang menekankan pentingnya berpegang pada UNCLOS juga disampaikan oleh pembicara lainnya, Ristian Atriandi Supriyanto, pemerhati keamanan dari Universitas Indonesia. Ristian berpandangan bahwa melalui diplomasi maritimnya, RRC berupaya untuk memegang kendali dan memperoleh kebebasan berlayar sekaligus di perairan LCS. 

Menurutnya, upaya tersebut dilakukan dengan cara diplomasi koersif yang menggunakan paksaan dan diplomasi kooperatif dan persuasif yang tidak menggunakan paksaan. Dalam menghadapi upaya RRC di atas, ia berpandangan bahwa Indonesia perlu untuk tidak berpihak kepada kubu mana pun, tetapi hanya berpegang pada UNCLOS.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Belinda Safitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: